Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi di Tanah Intoleran (2)

Kompas.com - 17/11/2016, 16:10 WIB
Reni Susanti

Penulis

PURWAKARTA, KOMPAS.com – Purwakarta dengan luas wilayah 971,72 km persegi atau sekitar 2,81 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat memiliki 892.634 penduduk yang memiliki agama beragam.

Catatan Dinas Kependuduk dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Purwakarta tahun 2016, mayoritas penduduk Purwakarta beragama Islam sebanyak 883.744 orang, diikuti Kristen 6405 orang, Katolik 1.846, Budha 491 orang, Konghucu 9 orang, dan satu orang menganut kepercayaan.

(Baca juga: Toleransi di Tanah Intoleran (1))

Ketua Satgas Toleransi Agama/Kepercayaan, KH John Dien M Thahir mengatakan, keberagaman agama di Purwakarta membuat kehidupan beragama di Purwakarta dinamis. Meski dinamis, persoalan yang melibatkan antar agama di kabupaten ini terbilang kecil.

“Tahun 2007-2008, ada persoalan tempat ibadah gereja. Saat itu, sekelompok orang menuntut pendirian gereja ke pengadilan karena diduga memalsukan KTP,” ungkap John Dien, belum lama ini.

Kasus tersebut dimenangkan Gereja karena PTUN melihat gereja sudah mengantongi izin bupati sehingga proses ke bawah dianggap selesai.

Kasus lainnya adalah Kristenisasi dan Ahmadiyah. Kasus kristenisasi dilaporkan beberapa orang yang khawatir di salah satu sekolah di Purwakarta terjadi Kristenisasi. Kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.

Adapun kasus Ahmadiyah terjadi pada 2011. Ditandai dengan penutupan masjid Ahmadiyah dan pengucapan kembali kalimat syahadat oleh 31 dari 89 anggota Ahmadiyah Purwakarta.
Menurut John Dien, persoalan yang kerap terjadi di Purwakarta adalah internal agama Islam sendiri.

Hal ini dikarenakan cara berdakwah yang berbeda, misalnya Manhajus Solihin, FPI, dan Hizbut Tahrir Islam (HTI) memiliki cara dakwah lebih keras.

“Berbeda dengan NU yang relatif lebih sejuk dan cair, sehingga kerap dianggap lelet oleh kelompok lainnya,” ungkapnya.

Medan hisbah

Suara adzan Dzuhur menggema ketika Ketua Majelis Dakwah Manhajus Sholihin, KH M Syahid Joban menemui Kompas.com di pesantrennya, daerah Pasar Rebo, Purwakarta. Berbeda dengan hari biasanya, siang itu, pesantren yang dilengkapi dengan sekolah umum tersebut sangat sepi.

“Kalau setelah Idul Adha, kami libur,” tutur Joban memulai pembicaraan.

Joban lalu bercerita kenapa dirinya begitu gigih melawan kebijakan Bupati Purwakarta, termasuk dalam hal toleransi. Ia menilai, konsep toleransi yang diusung Bupati salah kaprah.

“Bupati melakukan anekaragam kemusyrikan dibungus dengan toleransi. Contoh Ramadan toleran. Warung buka 24 jam. Bupati gagal paham dalam toleransi,” ungkapnya dengan suara meninggi.

Jika pendirian Satgas ini untuk kerukunan, pihaknya setuju. Tapi jika tujuannya mengebiri perjuangan umat Islam dan memuluskan ritual-ritual penyimpangan akidah, tidak ada toleransi dalam hal itu.

Bukan tanpa alasan Joban berpikir hal tersebut karena kebijakan Bupati Purwakarta selama ini dianggapnya telah menyimpang dari syariat Islam, seperti soal kereta kencana, Nyi Roro Kidul, kain poleng, dan patung, lebih mengarah ke upaya hinduisasi Islam di Purwakarta.

Tak hanya itu, berbagai kegiatan kebudayaan yang diusung Dedi kental dengan unsur Sunda Wiwitan. Bahkan Dedi pun meminta Presiden Joko Widodo mengakui agama leluhur seperti Kejawen,Sunda Wiwitan, dan Mentawai. Karena Padjadjaran yang sekarang bernama Jawa Barat mempunyai sistem pluralisme yang mengakui semua agama benar.

“Kami menerima pluralitas, tapi menolak pluralisme, yang meyakini semua agama benar. Bahkan Dedi pun melarang ulama berdakwah provokatif, ini bahaya. Apa batasan provokatif,” tuturnya.

Dulu, sambung Joban, Purwakarta adalah kota santri, namun menurut dia, telah rusak begitu Dedi Mulyadi menjabat Bupati Purwakarta. Untuk mengembalikan hal tersebut, pihaknya akan mengumpulkan ulama dan mendirikan Forum Ulama Purwakarta sekaligus membuat berbagai kegiatan tandingan untuk menegakkan amar maruf nahi munkar.

“Purwakarta sudah bukan medan dakwah lagi. Tapi medan hisbah, medan amar maruf nahi munkar. Tidak bisa dibiarkan lagi,” ucapnya.

Dalam forum tersebut, pihaknya akan menyiapkan calon bupati yang akan bertarung di Pilkada 2018. Kontrak politik pertama yang harus dilakukan calon bupati tersebut adalah menghancurkan patung dan kebijakan Dedi yang menyimpang.

 

Bersambung: Toleransi di Tanah Intoleran (3)

 

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Reni Susanti, kontributor Kompas.com di Bandung, sebagai pemenang program Fellowship Liputan Keberagaman 2016 yang diinisiasi oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com