Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo (3 - tamat)

Kompas.com - 05/11/2015, 11:39 WIB
Syahnan Rangkuti

Penulis

KOMPAS.com - Semakin dalam memasuki areal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di wilayah administrasi Dusun Dolik dan Kuala Renangan, Desa Lubuk Kembang Bunga, Ukui, Pelalawan, Riau, kami banyak sekali menjumpai jalan setapak yang membentuk persimpangan.

Menurut Suhadi, pemandu kami, di dua dusun itu saja terbentang sedikitnya 30 kilometer jalur tikus yang dapat dilalui sepeda motor yang menghubungkan dua dusun bertetangga.

Dari penampakan udara, saat  mengelilingi areal TNTN beberapa bulan lalu, nyaris tidak ada lagi kawasan hutan yang tidak dapat ditembus.

Jalan di dalam hutan konservasi itu ibarat rajut jaring laba-laba. Semuanya menyatu seakan menggambarkan gabungan terintegrasi transportasi primer, sekunder dan tersier.

Jalan yang besar selebar 20 sampai 50 meter tersedia karena dibangun perusahaan HPH dan HTI yang menguasai ekosistem itu sejak tahun 1990-an untuk transportasi kayu.

Dari akses primer dibuka jalan baru yang lebih kecil terutama menuju areal perambahan kebun kelapa sawit.

Jaringan tersier berupa jalan setapak yang hanya dapat dilalui sepeda motor dibuka untuk merintis areal perambahan baru.

Jalur di Dusun Dolik dan Kuala Renangan adalah jalur rintisan baru perambahan. Apabila tidak ditangani, jalan setapak di areal rambahan baru akan berkembang menjadi jalur sekunder.

Tunggul kayu tanda kepemilikan

Di satu tempat hamparan terbuka bekas terbakar baru, diperkirakan mencapai luas lima hektar, kami kembali berhenti.  Ada pemandangan mengusik.   

Di sudut hamparan terdapat dua tunggul kayu setinggi 80 cm yang dipotong dengan gergaji mesin dengan pemandangan mencolok.

Di tunggul itu tertera tulisan dengan cat berwarna biru “MKR 300” dan pada tunggul satunya lagi  “300 Masyarakat”.

Tidak jelas arti tulisan di tunggul itu. Namun menurut Suhadi, tunggul itu adalah patok tanda kepemilikan lahan.  Artinya, lahan itu sudah ada pemiliknya.

Semakin ke dalam, terdapat lebih banyak tanda kepemilikan yang seluruhnya berada di hamparan hutan bekas dibakar.

Namun perjalanan harus terhenti karena asap tebal masih keluar dari lahan yang masih terbakar. Mata perih dan bernafas semakin berat.

Izin HPH

Kepala Balai TNTN Tandia yang dihubungi secara terpisah mengakui,  areal Dusun Dolik dan Kuala Renangan merupakan bagian dari ekosistem TNTN awal.

Pada 2004, Kementerian Kehutanan mencabut izin HPH PT Inhutani IV (eks HPH PT Dwi Marta) seluas 38,5 ribu hektar dan mengubah peruntukan menjadi taman nasional.

Pada saat disahkan, eks HPH itu sebenarnya sudah bermasalah karena berisi ribuan perambah.

Pemerintah bukannya membereskan persoalan perambah, malah pada tahun 2009  TNTN diperluas lagi.

Awalnya rencana perluasan mencapai 100.000 hektar dengan melepas izin HPH PT Nanjak Makmur (44.500 hektar) dan HPH PT Siak Raya Timber (18.800 hektar).

Belakangan, hanya eks HPH PT Nanjak Makmur yang masuk wilayah TNTN, sehingga totalnya menjadi 83.000 hektar.

Adapun areal eks PT Siak Raya Timber direncanakan sebagai hutan penyangga untuk mengakomodasi kebutuhan habitat gajah.

Perluasan TNTN dianggap sebagai langkah konkret Kementerian Kehutanan mengimplementasikan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.54 tahun 2006 tentang Penetapan Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI Hamparan kebun sawit di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Para perambah

Kondisi lahan eks HPH PT Nanjak Makmur dan HPH PT Siak Raya Timber pada saat itu justru lebih parah. Perambahan di dalamnya sudah merajalela.

Komponen perambah bukan petani kecil seperti Legiman atau Sukiman. (Baca: Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo 2).

Kelompok cukong, pemodal menengah, pejabat pemerintah lokal, pejabat provinsi sampai pusat, TNI, Polri, aparat hukum lain, politisi dan wartawan ikut menggerogoti taman nasional kebanggaan Riau itu.

Di areal eks PT Siak Raya Timber saat ini sudah tumbuh 6.000 hektar kebun kelapa sawit milik sebuah perusahaan yang mengaku menggandeng masyarakat lokal.

Seorang jenderal asal Jakarta disebut-sebut memiliki lahan seluas 3.000 hektar di dekat perusahaan itu.

Pernah ditemukan sebuah memo atas nama polisi berpangkat Komisaris. Polisi itu melayangkan  surat kepada sebuah perusahaan HTI yang berisi pemberitahuan agar lahannya seluas 60 hektar tidak diusik.

Polisi itu melengkapi surat pembelian dari pemuka adat desa setempat yang mengakui areal hutan negara sebagai tanah ulayat. Pola jual beli tanah ulayat oleh pemuka adat adalah transaksi paling dominan di TNTN.

Aparat desa ikut bermain sehingga surat menyurat tersedia  sehingga lebih meyakinkan pembeli (perambah) baru.

Bahkan, Badan Pertanahan Nasional Indragiri Hulu menerbitkan sertifikat hak milik ribuan hektar di wilayah TNTN kepada sebuah koperasi.

Sawit dan problematikanya

Membakar lahan dan menanam kelapa sawit, menurut juru bicara WWF Riau, Syamsidar adalah pola perambah TNTN.

Perambahan berlangsung belasan tahun, terutama setelah booming harga kelapa sawit pada 1997.

Pembiaran membuat areal perambahan TNTN sudah lebih dari 65.000 hektar dari total 83.000 hektar. Sekarang ini, diperkirakan sekitar 70.000 keluarga bermukim di TNTN.

Transportasi puluhan ribu perambah di TNTN sangat mudah, karena tersedia transportasi jejaring laba-laba. Apalagi ekosistem TNTN berupa tanah mineral bukan gambut.

Bahkan, di Simpang Kampar, setiap hari terdapat bus asal Medan yang siap mengantar dan menjemput anggota keluarga, kerabat dan handai tolan perambah. (Baca: Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo I).

Harian Kompas pernah menulis TNTN lebih cocok menjadi Taman Sawit Tesso Nilo (Kompas, 25/6/2015).

PT Hutani Sola Lestari (berada dalam satu ekosistem dengan TNTN) yang dicabut izinnya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sesungguhnya tidak pernah dibuka oleh pemiliknya sejak diberi izin tahun 1999.

Lahan HPH itu sudah lebih dulu dikavling ribuan orang dari kelompok kecil sampai raksasa.

Kehadiran perambah dan konflik tidak mungkin diselesaikan lagi tanpa campur tangan negara. Di areal  PT HSL lebih banyak kebun kelapa sawitnya yang dapat dipanen.

Di seluruh kawasan ekosistem TNTN, terdapat sedikitnya sembilan pabrik kelapa sawit perusahaan yang tidak memiliki kebun sendiri. Pabrik itu menampung kelapa sawit dari areal hutan taman nasional.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI Jalan utama di tengah perkebunan sawit di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Simbiosis perambah kecil dan besar

Pada 2002, Bupati Kuantan Singingi sudah meminta KLHK melepas areal PT HSL menjadi areal penggunaan lain (APL), agar dapat dijadikan kebun.

Beberapa kepala daerah lain juga memasukkan rencana tata ruang beberapa HTI diubah menjadi APL.

Kondisi itu membuat perambah berduit dan punya kekuasaan semakin terang-terangan menunjukkan kepemilikan lahan ilegalnya.

Terpidana Gulat Manurung (orang dekat Gubernur Riau non aktif yang dihukum enam tahun dalam kasus suap bersama Gulat Manurung) disebut-sebut memiliki kebun di areal PT HSL.
Itu salah satu penyebab rencana tata ruang wilayah Riau terus menggantung di KLHK.

Simbiosis antara perambah kecil dan besar muncul disaat keberadaan mereka diusik. Perambah cukong  memberi modal dan bantuan moril sementara perambah kecil menyiapkan fisik  menghadapi petugas penertiban.

Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di Pelalawan, melainkan diseluruh hutan Riau.

Begitu besarnya perambahan yang merusak ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo. Muncul pertanyaan, dengan kondisi perambahan merajalela yang menyulut kebakaran, apakah tindakan keras pemerintah mencabut dan membekukan izin perusahaan dapat mengakhiri kebakaran di masa mendatang? 

Rasanya tidak.

Selama permasalahan perambah hutan milik negara dan pekebun kecil tidak diselesaikan, selama itu pula kebakaran masih akan terjadi.

Inilah pokok permasalahan yang belum disentuh pemerintah secara serius.

(Selesai)
________________________
Baca artikel sebelumnya:
Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo I
Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo 2

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com