”Bantuan kapal itu malah menyengsarakan nelayan karena biaya operasional mahal. Sekali melaut butuh Rp 25 juta-Rp 30 juta,” ujar pengurus kelompok nelayan Wilujeng, Kendal, Jawa Tengah, Sugeng, dalam diskusi ”Potensi Maritim” di Semarang, Jateng, Senin lalu.
Kapal-kapal bantuan itu juga tidak layak karena kapasitasnya tak sesuai kebutuhan nelayan tradisional.
Menurut informasi yang diperoleh, di Kendal terdapat tujuh kapal bantuan. Namun, semuanya kini mangkrak. Kapal itu pun dibuat tidak presisi sehingga ketika melaut jalannya miring. Padahal, biaya pembuatan itu senilai Rp 1,2 miliar per unit.
Kapal bantuan dengan kapasitas 40 gros ton (GT) telah mengubah budaya melaut nelayan tradisional. Kapal itu memerlukan beberapa awak dan masa melaut dirancang lebih dari tiga minggu. Sementara nelayan Jateng terbiasa melaut sehari.
Nelayan asal Jepara, Saroji, mengemukakan, nelayan tradisional selama ini hanya mencari ikan di perairan kurang dari 10 mil (16 km) dari pantai. Kapal bantuan sendiri didesain untuk mencari ikan di perairan lebih dari 10 mil di lautan.
”Dengan spesifikasi kapal seperti itu, nelayan seolah-olah dibenturkan dengan kapal-kapal besar yang kerap juga melaut di jalur nelayan tradisional.
Selain soal bantuan kapal untuk nelayan yang tidak cocok, sejumlah nelayan juga mengungkapkan kegagalan program peningkatan kewirausahaan perempuan pesisir dan kelompok taruna pesisir. Tiap kelompok dijatah dana Rp 100 juta.
Aktivis dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim, mengemukakan, pemerintah perlu mengkaji ulang program bantuan untuk nelayan tradisional. Bantuan perlu pengawasan ketat dan evaluasi pelaksanaan guna mencegah penyelewengan anggaran. ”Nelayan sesungguhnya tak memperoleh bantuan karena sudah disabotase oknum pejabat pemerintah dan legislatif,” ujarnya.