Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang "Mpok Kite" Chadidjah

Kompas.com - 21/04/2012, 10:47 WIB
Windoro Adi

Penulis

Golongan kedua, Betawi pinggir. Usaha mereka umumnya berkebun, dan mengontrakkan rumah. Mereka umumnya hanya menimba ilmu agama saja. Elit Betawi pinggir biasanya memiliki pesantren.Tak heran jika dari golongan ini lahir banyak ulama berpengaruh. "Mereka yang tergolong Betawi pinggir ini misalnya Ibu Hajjah Tuti Alawiyah, dan Kyai Haji Abdullah Syafii," kata Yasmine. Pernikahan silang terjadi di antara etnis lokal. Mereka lebih banyak mengikuti model budaya Betawi kota.

Golongan ketiga adalah Betawi Udik yang umumnya berpendidikan rendah, dan "Islam abangan". Mereka bekerja sebagai penjaja makanan tradisional, seniman tradisional, pengrajin, atau menjadi petani. Golongan ini banyak melahirkan seniman-seniman tradisional.

Hubungan sosial antara orang-orang Betawi tengah dengan orang-orang Betawi pinggir berjalan baik. Tetapi kedua golongan ini mengambil jarak sosial terhadap orang-orang Betawi udik yang dianggap, tidak terpelajar. Meski demikian, golongan Betawi udik lebih populer dibandingkan dua golongan Betawi lainnya. Sebab, golongan Betawi udik lebih cepat menyerap setiap unsur budaya lokal dan asing yang datang. Pernikahan silang pun lebih banyak melibatkan etnis lokal dan asing.

Era Sadikin
Di era pemerintahan Gubernur DKI Ali Sadikin, perangkat budaya Betawi udik mendapat ruang lebih luas. "Sadikin menjadi turning point bagi kebudayaan Betawi. Dia mengintegrasikan ketiga golongan. Gambang kromong dan lenong yang awalnya diharamkan oleh golongan Betawi kota dan pinggir karena dianggap vulgar, dipoles. Ukupan, sajen, dan mantera yang mengiringi acara ondel-ondel, disingkirkan. Penampilan dan wajah ondel-ondel yang dulunya menyeramkan, diubah menjadi lebih ramah," papar Yasmine.

Awalnya, golongan Betawi tengah, menolak langkah Sadikin. Tetapi kemudian menerima dengan setengah hati. "Anak-anak Betawi kota tidak boleh ikut jadi kembang latar (penari) kesenian Betawi udik. Orang-orang Betawi kota hanya mengijinkan budaya Betawi baru ini tampil dalam kehidupan publik (public life), dan bukan pada kehidupan pribadi (private life) keluarga Betawi kota," ujar Yasmine.

Tetapi akhirnya orang Betawi tengah sadar, kesenian Betawi tengah seperti musik rebana, orkes gambus dan tari samrah serta tonil yang tanpa perempuan dan cenderung monoton itu, kurang menarik diangkat ke panggung.

Setelah berbagai kesenian Betawi udik dipoles sana sini sehingga tidak lagi bertentangan dengan ajaran Islam, orang-orang Betawi tengah dan Betawi pinggir mau menerima budaya baru Betawi ini. Orang-orang Tugu peranakan Portugis dan Srilanka pembawa musik keroncong yang awalnya dianggap, "Betawi tidak, asing pun tidak", akhirnya menjadi bagian dari etnis Betawi.

"Orang-orang Betawi Kota seperti ibu Emma Amalia Agoes Bisri bahkan membuat budaya Betawi tampil lebih elok dengan pengembangan busana, perhiasan, dan batik Betawi," tutur Yasmine. Selama pembaruan budaya Betawi ini, lanjutnya, lebih banyak orang-orang (seniman, budayawan, dan birokrat) Jawa dan Sunda yang terlibat, dibandingkan orang Betawi sendiri.

Gedongan Menteng

Yasmine adalah anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Zaki Shahab dan Lulu Al Hadad. Kakeknya, Ali bin Ahmad bin Shahab lebih populer dengan panggilan Ali Menteng. Sebab, ia adalah tuan tanah kawasan Menteng Jakarta Pusat.

"Lahan di seluruh wilayah Menteng sampai perbatasan Kuningan itu, dulu tanah kakek. Kakek kehilangan sebagian besar tanahnya setelah ditipu pemerintah Hindia Belanda. Awalnya, pemerintah menyewa sebagian besar tanah kakek. Di atas tanah dibangun rumah-rumah tinggal. Pemerintah lalu mengalihkan surat-surat tanah kakek menjadi milik pemerintah Hindia Belanda," papar Yasmine.

Ali Menteng menikah dengan seorang mantan biarawati Santa Maria, Farida Sofia van Will. "Setelah menikah dengan kakek, nenek masuk Islam dan berganti nama menjadi Farida Sofia van Will," ungkap Yasmine.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com