ejumlah mahasiswa yang terlibat di unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang bertolak belakang dengan pilihan mayoritas jender mereka mengakui, awalnya sulit dan butuh kerja keras untuk meyakinkan diri bahwa keterlibatan mereka itu bukan hal yang aneh dan salah. Hasilnya, keteguhan mereka membuktikan, perbedaan jender tak menjadi masalah dan hambatan.
Salah satunya dialami Lestari Ningsih (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Sebagai mahasiswa baru, Lestari memilih UKM pencinta alam Wanala. Itulah mengapa pada 2007 ia mengikuti Pendidikan UKM Wanala Unair di Gunung Penanggungan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Kerasnya tempaan medan pendidikan sempat membuat nyalinya ciut. Semangatnya terkikis tatkala berada di antara peserta UKM lain yang mayoritas cowok.
”Rasanya canggung berada di antara mereka. Aku jadi banyak berdiam diri karena tidak terbiasa bersama mereka,” tuturnya.
Tapi, Lestari berusaha terus meneguhkan niat. Dia menyadari, menjadi pencinta alam tak mudah. Apalagi saat bergabung dengan UKM Wanala Unair itulah saat pertama kali ia mengenal dunia pencinta alam.
”Aku nangis, bayangan enak-enak dan senang-senang seperti berwisata langsung hilang,” katanya.
Namun, menjalani keseharian di Wanala dan mengenal teman-temannya lebih jauh menimbulkan rasa berbeda. Apalagi mereka tak memperlakukannya dengan istimewa meski perempuan.
Lestari mulai betah. Meski demikian, tak mudah membuat orangtuanya mengerti mengingat Wanala adalah kegiatan berisiko. Orangtuanya juga telanjur beranggapan bahwa anggota Wanala suka nongkrong dan hura-hura.
”Aku bilang ke orangtua, bisa mendapat hal positif di sini dan baik-baik saja. Akhirnya mereka mengizinkan aku bergabung dengan Wanala,” katanya.