Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Haji "Sandal Jepit"? Alamaaak...

Kompas.com - 16/12/2010, 03:32 WIB

”Tentu saja kami tidak bisa memenuhi permintaan itu. Kami harus memberikan pelayanan kepada semua jemaah haji, apa pun (jenis) visanya. Itulah yang diwasiatkan oleh raja kami,” tutur Zuhair.

”Sebagai tindak lanjut di lapangan, saya selaku ketua maktab diminta agar memberikan pelayanan lebih kepada jemaah nonkuota asal Indonesia. Sebab, mereka adalah orang-orang yang dizalimi,” ujar Toriq Banjar, Ketua Maktab 17, tempat jemaah haji nonkuota dikelompokkan.

Tidak cukup sampai di situ. Jemaah nonkuota juga diberi label haji ”sandal jepit”. Entah apa makna yang ingin dibangun di balik ungkapan itu.

Jika arahnya merujuk pada pernyataan pejabat Kementerian Agama yang kerap diulang-ulang terkait adanya kasus jemaah yang keleleran alias telantar, hal itu tidak berlaku bagi jemaah nonkuota yang dikelola oleh biro jasa penyelenggara perjalanan haji. Mereka juga tidak kekurangan pasokan makan dan minum, apalagi disuguhi makanan basi, seperti menimpa jemaah kloter 17 embarkasi Medan, ataupun nasib serupa yang dialami jemaah kloter 53 asal Banyuawi, Jawa Timur.

Secara umum, tipologi jemaah haji nonkuota sesungguhnya jauh dari gambaran kasar yang ingin dibangun oleh para petinggi Kementerian Agama. Paling tidak, selama musim haji 2010, dari 3.150 jemaah haji nonkuota Asia Tenggara—di mana 2.990 di antaranya berasal dari Indonesia—yang terdata oleh Muassasah Pemandu Haji Asia Tenggara, secara ekonomi mereka tergolong relatif berkecukupan.

Selain para pekerja profesional, beberapa di antaranya adalah usahawan. Mulai dari kontraktor, pengusaha sarang burung walet, hingga pemilik armada kapal angkutan batu bara rute Kalimantan-Jawa.

Bisa dipahami jika status sosial-ekonomi mereka pun relatif baik mengingat untuk setiap jemaah paling tidak harus merogoh kocek 6.500 dollar AS atau sekitar Rp 58,5 juta. Ini angka minimal, karena umumnya jumlah yang mereka bayarkan ke biro penyelenggara perjalanan haji antara Rp 70 juta dan Rp 80 juta per orang.

”Kami bertiga habis Rp 250 juta,” kata Kasiam, warga Simpang 3 Pekanbaru, Riau, yang berangkat bersama suami dan ibunya, memanfaatkan biro jasa penyelenggara perjalanan haji Nur Mulia Madinah.

Selama di Arafah dan Mina, tenda yang ditempati jemaah nonkuota—beralaskan karpet tebal, dilengkapi kasur kecil berikut bantal. Ruang yang tersedia pun cukup lapang, tidak harus berdesak-desakan seperti pada tenda-tenda yang ditempati jemaah haji reguler. Sungguh kontras dibandingkan pemandangan di tenda sebelahnya, Maktab 19, yang ditempati haji reguler. Bahkan, saat di Mina, dibandingkan jemaah haji khusus di Maktab 108 yang harus berdesak-desakan, ”nasib” jemaah nonkuota jauh lebih beruntung.

”Di Maktab 108, walaupun berstatus haji khusus alias nonreguler, kapasitas tenda 300 orang dijejali hingga 350 orang. Payah! Belum lagi jauh dari jamarat untuk melempar jumroh,” kata Muhidin Hasibuan, jemaah asal Bontang, Kalimantan Timur.

Haji keleleran? Tidaklah! Haji ”sandal jepit”? ”Alamaak, haji macam apa itu,” ujar seorang jemaah nonkuota asal Pekanbaru, Riau. (ken)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com