Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Haji "Sandal Jepit"? Alamaaak...

Kompas.com - 16/12/2010, 03:32 WIB

Sejak di Tanah Air, jemaah haji nonkuota asal Indonesia sudah dihadapkan pada banyak tantangan agar bisa berangkat ke Tanah Suci. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini rencana keberangkatan mereka makin diliputi ketidakpastian.

Bahkan ada yang sudah bersiap- siap menunggu di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, tetapi akhirnya gagal berangkat lantaran visa haji mereka tak kunjung keluar. Padahal, koper berisi perlengkapan untuk beribadah selama di Tanah Suci sudah telanjur ikut bergabung bersama rombongan jemaah nonkuota lain yang lolos (baca: mendapat visa), dan terbang menuju Bandara King Abdul Aziz di Jeddah, Arab Saudi.

Berbagai isu akhirnya bertiup di balik kisruh persoalan yang menimpa jemaah nonkuota. Di antaranya disebut-sebut bahwa hal itu terjadi akibat sikap pemerintah yang sama sekali tidak lagi menghendaki keberadaan jemaah nonkuota.

Munculnya surat dari Pemerintah Indonesia ke Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi di Jakarta, berisi imbauan agar tak lagi melayani permintaan visa haji di luar kuota yang sudah diberikan, adalah bagian dari upaya menihilkan jumlah jemaah haji nonkuota. ”Ke depan harus ditekan, syukur-syukur bisa kita nol-kan,” kata Menteri Agama Suryadharma Ali.

Melalui media massa, mereka yang berangkat ke Tanah Suci tetapi tidak terdaftar pada Kementerian Agama tersebut juga dituding melanggar aturan. Memang tidak secara eksplisit aturan perundang-undangan mana yang dilanggar, tetapi yang kerap dimunculkan adalah karena mereka berangkat tidak melalui prosedur yang ada di Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Intinya, setiap jemaah haji Indonesia harus melalui satu pintu: Kementerian Agama!

Keberadaan jemaah nonkuota juga dianggap menurunkan citra penyelenggaraan haji Indonesia. Adanya jemaah haji yang telantar di Tanah Suci, misalnya, langsung dicap sebagai bagian dari jemaah haji nonkuota pada umumnya. (Padahal, tak jarang kasus semacam itu terjadi pada jemaah yang semula berangkat umroh jauh sebelum musim haji, lalu diam-diam memperpanjang masa tinggal yang seharusnya sudah habis alias over stay).

Lewat pernyataan-pernyataan semacam itu, tersirat tudingan, mereka yang berangkat di luar ”kontrol” Kementerian Agama hanya mendatangkan masalah. Bukan saja bagi Indonesia, karena dianggap merusak citra, melainkan juga bagi Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Dikhawatirkan mereka ini sebagian akan tinggal di sana, mencari kerja sebagai imigran gelap.

Kebijakan Arab Saudi

Munculnya istilah jemaah nonkuota itu sendiri berawal dari kebijakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan visa haji di luar jatah resmi suatu negara. Melalui pejabat atase mereka di kedutaan, di Indonesia jatah tersebut umumnya ”diperebutkan” oleh penyelenggara haji khusus (baca: ONH plus).

Karena sifatnya kebijakan, tidak ada angka pasti jumlahnya. Pada 2009 jemaah nonkuota asal Indonesia tercatat sekitar 3.700 orang. Tahun ini, pihak Muassasah Pemandu Haji Asia Tenggara mendata, dari 3.150 jemaah nonkuota dari kawasan ini (sudah termasuk China, Jepang, dan Korea), 2.990 di antaranya berasal dari Indonesia.

Jemaah nonkuota asal Indonesia itu tak hanya berbekal visa haji yang dikeluarkan Kedubes Arab Saudi di Jakarta, tetapi juga lewat kedubes mereka di negara-negara lain. Tahun ini, misalnya, sekitar 200 jemaah nonkuota Indonesia mendapat visa dari Kedubes Arab Saudi di Amman, Jordania.

Oleh pihak muassasah, jemaah nonkuota itu ditempatkan di maktab khusus—Maktab 17 (nonreguler), baik saat di Arafah-Mina maupun dalam sistem birokrasi pengontrolan orang berikut paspornya dari dan ke Mekkah-Madinah. Regulasi birokrasi semacam ini berlaku untuk semua jemaah haji yang masuk ke Arab Saudi. Selain dimaksudkan memberi kenyamanan, pengelompokan itu juga untuk mencegah jemaah over stay dan terlambat meninggalkan Arab Saudi. Lewat mekanisme semacam ini hampir tak ada celah bagi jemaah nonkuota menyelusup, lalu tinggal di Arab Saudi, dan cari kerja sebagaimana dikhawatirkan.

”Bagi kami tak ada masalah,” kata Zuhair Abdul Hamid Sedayu, Ketua Muassasah Pemandu Haji Asia Tenggara (The Establishment of Motowifs of South East Asia Pilgrims).

Sejak dua tahun terakhir memang ada perubahan dalam hal penggunaan paspor untuk berhaji. Sebelumnya, jemaah yang berangkat ke Tanah Suci harus dengan paspor khusus (populer dengan sebutan paspor coklat) yang dikeluarkan Kementerian Agama. Artinya, pemegang visa haji jalur nonkuota pun tetap harus berurusan dengan petugas Kementerian Agama.

Akan tetapi, ketika tiba-tiba pada musim haji tahun 2009 Pemerintah Arab Saudi menetapkan seluruh jemaah harus menggunakan paspor internasional, hubungan itu terputus. Sejak itu pula, berbekal paspor (hijau) yang dikeluarkan Kantor Imigrasi, pihak biro jasa penyelenggara perjalanan haji langsung berurusan dengan penyelia mereka yang mengurusnya di Kedubes Arab Saudi di Jakarta.

”Keberadaan jemaah haji nonkuota bukan hal baru, dan selama ini tidak ada masalah. Baru tahun ini saja dibesar-besarkan. Kalau memang pemerintah menganggap ini masalah, mestinya para penyelenggara perjalanan haji yang memberangkatkan mereka diajak duduk bersama, dicarikan jalan keluar, bukan malah dimusuhi,” kata Syarkowie Ghozali, Ketua Umum Pengurus Pusat Asosial Bina Haji dan Umroh (Asibhu) Nahdlatul Ulama.

Sengaja dimarjinalkan

Semangat ”memusuhi” keberadaan jemaah nonkuota makin kentara saat di Tanah Suci. Selain dituding melanggar aturan, jemaah nonkuota juga seperti sengaja dimarjinalkan, bahkan dipersulit mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara pemegang paspor Indonesia.

Seorang petinggi Kementerian Agama RI bahkan secara khusus menemui Zuhair Sedayu, meminta pihak muassasah tidak melayani jemaah haji nonkuota asal Indonesia. ”Pemerintah Anda tidak menghendaki haji nonkuota,” katanya.

Bagi Zuhair, permintaan semacam itu terdengar aneh. Bagaimana mungkin pemerintah suatu negara ingin ada sekelompok warga bangsanya yang sudah berada di Tanah Suci, datang sebagai tamu Allah untuk menjalankan salah satu rukun Islam, justru dimintakan agar dibiarkan telantar.

”Tentu saja kami tidak bisa memenuhi permintaan itu. Kami harus memberikan pelayanan kepada semua jemaah haji, apa pun (jenis) visanya. Itulah yang diwasiatkan oleh raja kami,” tutur Zuhair.

”Sebagai tindak lanjut di lapangan, saya selaku ketua maktab diminta agar memberikan pelayanan lebih kepada jemaah nonkuota asal Indonesia. Sebab, mereka adalah orang-orang yang dizalimi,” ujar Toriq Banjar, Ketua Maktab 17, tempat jemaah haji nonkuota dikelompokkan.

Tidak cukup sampai di situ. Jemaah nonkuota juga diberi label haji ”sandal jepit”. Entah apa makna yang ingin dibangun di balik ungkapan itu.

Jika arahnya merujuk pada pernyataan pejabat Kementerian Agama yang kerap diulang-ulang terkait adanya kasus jemaah yang keleleran alias telantar, hal itu tidak berlaku bagi jemaah nonkuota yang dikelola oleh biro jasa penyelenggara perjalanan haji. Mereka juga tidak kekurangan pasokan makan dan minum, apalagi disuguhi makanan basi, seperti menimpa jemaah kloter 17 embarkasi Medan, ataupun nasib serupa yang dialami jemaah kloter 53 asal Banyuawi, Jawa Timur.

Secara umum, tipologi jemaah haji nonkuota sesungguhnya jauh dari gambaran kasar yang ingin dibangun oleh para petinggi Kementerian Agama. Paling tidak, selama musim haji 2010, dari 3.150 jemaah haji nonkuota Asia Tenggara—di mana 2.990 di antaranya berasal dari Indonesia—yang terdata oleh Muassasah Pemandu Haji Asia Tenggara, secara ekonomi mereka tergolong relatif berkecukupan.

Selain para pekerja profesional, beberapa di antaranya adalah usahawan. Mulai dari kontraktor, pengusaha sarang burung walet, hingga pemilik armada kapal angkutan batu bara rute Kalimantan-Jawa.

Bisa dipahami jika status sosial-ekonomi mereka pun relatif baik mengingat untuk setiap jemaah paling tidak harus merogoh kocek 6.500 dollar AS atau sekitar Rp 58,5 juta. Ini angka minimal, karena umumnya jumlah yang mereka bayarkan ke biro penyelenggara perjalanan haji antara Rp 70 juta dan Rp 80 juta per orang.

”Kami bertiga habis Rp 250 juta,” kata Kasiam, warga Simpang 3 Pekanbaru, Riau, yang berangkat bersama suami dan ibunya, memanfaatkan biro jasa penyelenggara perjalanan haji Nur Mulia Madinah.

Selama di Arafah dan Mina, tenda yang ditempati jemaah nonkuota—beralaskan karpet tebal, dilengkapi kasur kecil berikut bantal. Ruang yang tersedia pun cukup lapang, tidak harus berdesak-desakan seperti pada tenda-tenda yang ditempati jemaah haji reguler. Sungguh kontras dibandingkan pemandangan di tenda sebelahnya, Maktab 19, yang ditempati haji reguler. Bahkan, saat di Mina, dibandingkan jemaah haji khusus di Maktab 108 yang harus berdesak-desakan, ”nasib” jemaah nonkuota jauh lebih beruntung.

”Di Maktab 108, walaupun berstatus haji khusus alias nonreguler, kapasitas tenda 300 orang dijejali hingga 350 orang. Payah! Belum lagi jauh dari jamarat untuk melempar jumroh,” kata Muhidin Hasibuan, jemaah asal Bontang, Kalimantan Timur.

Haji keleleran? Tidaklah! Haji ”sandal jepit”? ”Alamaak, haji macam apa itu,” ujar seorang jemaah nonkuota asal Pekanbaru, Riau. (ken)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com