Irene Sarwindaningrum dan Hariadi Saptono
Sebutlah dua peristiwa erupsi tahun 1984 dan 2006. Akibat peristiwa erupsi efusif (lelehan) tahun 1984, yang disertai serbuan wedhus gembel
Tahun 2006, dengan karakter erupsi yang sama, Merapi mengubur sebagian besar Lapangan Bebeng alias Kali Adem—kawasan wisata di pinggir Kali Gendol. Sejumlah warung di pinggir lapangan itu terkubur dan dua orang tewas saat berusaha menyelamatkan diri dengan menyusup ke bungker perlindungan.
Sejak Kamis (4/11) malam, Cangkringan sunyi sepi. Ribuan warganya menyelamatkan diri.
Korban yang tercatat pada letusan 26 Oktober akhirnya menjadi 40 orang, sedangkan korban meninggal pada letusan 4 November hingga semalam 64 orang. Dengan demikian, sementara total penduduk Cangkringan yang meninggal 104 orang.
Setelah meluluhlantakkan Kampung Kinahrejo, Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo, pada letusan 26 Oktober lalu, wedhus gembel dan lahar panas Merapi kembali menghancurkan permukiman di sepanjang aliran Kali Gendol yang menjadi jalurnya. Dari lima desa di Cangkringan, empat di antaranya telah digulung wedhus gembel dan lava panas.
Dusun Bronggang, Desa Argomulyo, desa paling selatan di Kecamatan Cangkringan, menanggung korban terbanyak. Setidaknya korban tewas di desa itu 69 orang.
Gelombang pengosongan kawasan Cangkringan berlangsung sejak erupsi 26 Oktober, dimulai dari Desa Umbulharjo dan terus meluas ke Kepuharjo, Glagaharjo, dan Wukirsari. Cangkringan pun kini senyap. Ini terjadi karena kawasan rawan bencana Merapi terus meluas, dari ditetapkan 6 kilometer, 10 km, 15 km, hingga 20 km dari puncak Gunung Merapi, sejak ditetapkan 4 November 2010.
Roda ekonomi Cangkringan kini lumpuh total. Bahkan boleh jadi perekonomian DI Yogyakarta dan sekitarnya mungkin collapse.