Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perginya Edelweis dari Cangkringan...

Kompas.com - 06/11/2010, 04:12 WIB

Irene Sarwindaningrum dan Hariadi Saptono

Semarak kehidupan khas pedesaan di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, musnah jadi abu sejak Merapi secara berantai memuntahkan lava dan awan panasnya tanggal 26 Oktober, 30 Oktober, dan 4 November 2010. Namun, barangkali kita lupa, dusun-dusun di lereng Merapi itu sepanjang sejarahnya timbul- tenggelam bersama letusan gunung yang nyaris jadi kubur sejarah ini.

Sebutlah dua peristiwa erupsi tahun 1984 dan 2006. Akibat peristiwa erupsi efusif (lelehan) tahun 1984, yang disertai serbuan wedhus gembel itu, Dusun Turgo di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, lenyap sekitar empat tahunan. Sebanyak 69 orang dan puluhan sapi tewas, sejumlah rumah hangus terbakar, demikian pula hutan pinus dan kawasan hutan bambu di atas bukit Turgo hangus terbakar. Banyaknya korban yang jatuh karena saat erupsi terjadi warga desa sedang menghadiri hajatan pernikahan.

Tahun 2006, dengan karakter erupsi yang sama, Merapi mengubur sebagian besar Lapangan Bebeng alias Kali Adem—kawasan wisata di pinggir Kali Gendol. Sejumlah warung di pinggir lapangan itu terkubur dan dua orang tewas saat berusaha menyelamatkan diri dengan menyusup ke bungker perlindungan.

Sejak Kamis (4/11) malam, Cangkringan sunyi sepi. Ribuan warganya menyelamatkan diri.

Korban yang tercatat pada letusan 26 Oktober akhirnya menjadi 40 orang, sedangkan korban meninggal pada letusan 4 November hingga semalam 64 orang. Dengan demikian, sementara total penduduk Cangkringan yang meninggal 104 orang.

Setelah meluluhlantakkan Kampung Kinahrejo, Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo, pada letusan 26 Oktober lalu, wedhus gembel dan lahar panas Merapi kembali menghancurkan permukiman di sepanjang aliran Kali Gendol yang menjadi jalurnya. Dari lima desa di Cangkringan, empat di antaranya telah digulung wedhus gembel dan lava panas.

Dusun Bronggang, Desa Argomulyo, desa paling selatan di Kecamatan Cangkringan, menanggung korban terbanyak. Setidaknya korban tewas di desa itu 69 orang.

Gelombang pengosongan kawasan Cangkringan berlangsung sejak erupsi 26 Oktober, dimulai dari Desa Umbulharjo dan terus meluas ke Kepuharjo, Glagaharjo, dan Wukirsari. Cangkringan pun kini senyap. Ini terjadi karena kawasan rawan bencana Merapi terus meluas, dari ditetapkan 6 kilometer, 10 km, 15 km, hingga 20 km dari puncak Gunung Merapi, sejak ditetapkan 4 November 2010.

Roda ekonomi Cangkringan kini lumpuh total. Bahkan boleh jadi perekonomian DI Yogyakarta dan sekitarnya mungkin collapse.

Setidaknya dalam 10-15 tahun terakhir, Cangkringan merupakan dusun tertinggi di Sleman dan ini pula salah satu dusun eksotik dengan segala macam kekayaan budaya masyarakat dan situs sejarahnya.

Cangkringan memiliki tiga bisnis utama yang mencolok: usaha penyewaan losmen atau homestay, usaha peternakan sapi perah, serta penambangan pasir yang notabene merusak lingkungan dan sering membelah ketenteraman antarwarga desa sendiri.

Bisnis lain yang tak kalah besar ialah lahan salak, usaha dua camping ground oleh penduduk setempat di Wono Gondang dan Sinolewah.

Sejak erupsi kedua Merapi 30 Oktober, Desa Umbulharjo ditinggalkan hampir semua warganya mengungsi. Saat ini, sebagian besar penduduk Umbulharjo yang jumlahnya mencapai 2.521 orang berada di penampungan pengungsian Merapi di Desa Wukirsari yang jaraknya sekitar 5 km.

Dari perempatan kantor Desa Umbulharjo, ke arah puncak Merapi suasana semakin senyap. Jalan menuju lima dusun bagian utara Desa Umbulharjo itu ditutup sejak erupsi pertama 26 Oktober lalu.

Jalan itu berujung di Kampung Kinahrejo, kampung Mbah Maridjan. Sekitar 20 kios wedang gedang (minuman pisang), makanan kecil, dan suvenir, yang terdapat di kawasan wisata Kali Adem, nyaris tak berbekas.

Kepala Bidang Pembangunan Desa Umbulharjo Sugeng mengatakan, erupsi Merapi yang berkepanjangan melumpuhkan semua sektor perekonomian penduduk. Jika keadaan ini berlangsung sebulan, kerugian penduduk Umbulharjo bisa lebih dari Rp 1,4 miliar. Kerugian ini dihitung dari berhentinya usaha pemerahan susu, penginapan, tanaman keras warga yang rusak, dan penambangan pasir. Belum terhitung usaha parkir, persewaan mobil, dan warung.

Di Koperasi Susu Warga Mulya, misalnya, jumlah setoran susu turun lebih dari 11 persen, yaitu dari 4.500 liter per hari menjadi 4.000 liter per hari. Koperasi itu merupakan satu dari tiga koperasi susu di Kabupaten Sleman yang menyerap susu perah dari 525 ekor sapi, dari total populasi 4.000 ekor sapi di Kabupaten Sleman.

Dari 4.750 penduduk, 75 persen warga Umbulharjo menggantungkan hidup dari sapi perah yang jumlahnya 700 ekor. Sejak erupsi, tidak ada pemasukan dari susu sapi sehingga total kerugian sekitar Rp 700 juta. ”Susu harus diperah tiap hari, tetapi hasilnya tidak bisa saya setor. Kalau tidak dibuang, ya saya bawa ke pengungsian,” kata Widi Sutrisno (52), warga Dusun Pangukrejo.

Beberapa dari mereka akhirnya menjual sapi dengan harga sangat murah. ”Sudah ada sekitar 40 sapi dijual,” kata Yono, warga.

Paket wisata yang terkenal di desa itu, Lavatour, pun terhenti. Bahkan, saat ini, lokasi tur yang dimulai dari rumah Mbah Maridjan itu sudah rusak parah. ”Sebelumnya Lavatour mampu menarik 800 pengunjung sehari dengan tiket Rp 2.000 per orang,” kata Naryono, sang pemandu.

Sementara dari usaha penginapan kerugian mencapai Rp 12 juta sehari, dari total 350 kamar losmen di desa itu.

Ketua paguyuban pemilik penginapan Kelurahan Umbulharjo sekaligus Lurah Umbulharjo, Bedjo Mulyo, mengatakan, berdasarkan kesepakatan warga, tarif kamar losmen dan homestay di sana dipatok minimal Rp 30.000 dan maksimal Rp 60.000. Sementara warga dari luar daerah tidak diperkenankan mendirikan losmen dan homestay dengan tarif sama atau kurang dari patokan itu. ”Kalau lebih, misalnya Rp 500.000 semalam malah boleh.”

Sistem itu, kata Bedjo, dimaksudkan untuk melindungi warga Umbulharjo yang rata-rata berkemampuan ekonomi lemah.       

Kerugian atas rusaknya tanaman tanaman salak dan cabai diperkirakan Rp 16, 636 miliar karena rusaknya sekitar 1,2 juta rumpun salak.

Jika tahun ini seluruh Cangkringan lumpuh, kita pernah mencatat di Kabupaten Magelang, misalnya Desa Krinjing di Kecamatan Dukun, pun pernah terbenam lahar panas dan hilang beberapa tahun pada peristiwa erupsi tahun 1990-an.

Sejumlah pencinta alam mencatat, pascaletusan 2006, rumpun-rumpun bunga abadi edelweis marak dan menari-nari di lapangan Kali Adem.

Penduduk melarang mahasiswa pencinta alam mencabut dan menjualnya. Penduduk menjaga edelweis itu untuk ”dijual” kepada wisatawan sebagai tontonan.

Meski semua usaha manusia seolah sia-sia, karena waktu dan perubahan alam akan menggulungnya, toh orang tetap mencatat indahnya edelweis yang pernah turun, juga lelucon-lelucon Mbah Maridjan yang mengejutkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com