Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TAJUK RENCANA

Kompas.com - 28/10/2010, 03:50 WIB

Kaum Muda Kaca Retak

Dalam kedukaan mendalam atas musibah beruntun, gempa-tsunami Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi, adakah ruang merayakan Sumpah Pemuda?

Pertanyaan itu menggayut di saat kita bertelut dengan perasaan kalut atas deretan persoalan yang lambat ditangani. Mulai dari kasus korupsi yang terkesan lamban, mati rasanya anggota DPR, iklim ekstrem, hingga musibah gempa bumi-tsunami dan gunung api meletus.

Bicara perkara Sumpah Pemuda dalam situasi demikian menjadi nisbi, serba relatif, kurang relevan, tetapi terasa ada yang hilang membiarkan makna historis seruan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa makin hilang. Hasil jajak pendapat Kompas (25/10) menggambarkan wajah kaum muda (17-30 tahun) saat ini merupakan gambaran seribu wajah dengan banyak sisi kontradiktoris. Misalnya 77 persen responden lebih mementingkan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan bangsa dan 50,9 persen suka menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Seribu wajah kaum muda itulah cermin kegamangan. Kepentingan kelompok dan pragmatisme lebih jadi pilihan daripada kecintaan sebagai warga bangsa Indonesia. Pilihan pun pragmatis. Nasionalisme yang dirumuskan awal sebagai satu nusa, satu bangsa, satu bahasa diturunkan menjadi demi kepentingan individual dan praktis.

Seribu wajah itu ibarat kaca retak, yang secara individual berbeda, mulai dari yang memperjuangkan kebaikan bersama hingga yang paling pragmatis, seperti jadi demonstran bayaran atau ikut mereduksi berpolitik jauh dari cita-cita dan jiwa pengorbanan, pengabdian, dan patriotisme.

Dalam keadaan galau, parodi kaca retak potret kaum muda menawarkan ”tagih janji” representasi aktual. Memperjuangkan wacana kehidupan lebih demokratis, ya, tetapi lebih produktif adalah ikut mengadvokasi segera dieksekusinya persoalan yang mendesak—yang memang tidak hanya menjadi tanggung jawab kaum muda, tetapi terutama pengambil keputusan publik.

Musibah beruntun niscaya menjadi arena dan pelecut merepresentasikan jiwa dan semangat patriotisme-nasionalisme. Mengadvokasi praksis kepemimpinan yang eksekutif tanpa sengaja membangun citra, yang tercipta karena kebijakan dan praksis lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang prorakyat. Advokasi mengharapkan terciptanya solidaritas di kalangan pengambil kebijakan publik. Di tingkat eksekutif didahulukan dengan sigap persoalan yang mendesak. Musibah tidak cukup diratapi, tetapi menjadi kapstok mengubah sikap terhadap otoritas alam. Tak cukup diberi bantuan tanggap darurat, tetapi jadi pelecut kebijakan, keputusan, dan hati empati ke rakyat.

Sumpah Pemuda dengan semangat nasionalisme dan patriotisme menjadi pelecut kesadaran. Kita tinggal di atas Bumi yang rentan musibah. Di sana diuji seberapa jauh bisa diaktualkan nasionalisme Sumpah Pemuda 1928! Tak cukup dengan galau, tetapi mengubah sikap!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com