Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TAJUK RENCANA

Kompas.com - 28/10/2010, 03:50 WIB

Daulat Alam di Mentawai dan Merapi

Merapi bak bintang panggung. Dari puncaknya di ketinggian 3.000 meter dari muka laut, Gunung Merapi adalah sosok kokoh, memancarkan pesona.

Ia menjadi salah satu target penaklukan pendaki gunung. Manakala dada dan perutnya sesak oleh dorongan jutaan meter kubik lava, ia ”murka” dan memuntahkan, menyemburkan materi panas dan beracun, dengan ditonton jutaan orang. Kali ini bahkan sosok ”sakti” seperti Mbah Maridjan harus menyerah pada kuasa Merapi.

Yang satunya datang menyergap bak pencuri nyawa yang misterius, tetapi tidak kalah dahsyatnya. Gempa dan tsunami yang melanda Mentawai menewaskan tak kurang dari 117 orang dan membuat ratusan jiwa lainnya hilang. Sumber daya penciptanya ada nun jauh di kedalaman Samudra Hindia, di mana lempeng Eurasia terlibat dalam dorong-dorongan abadi dengan lempeng Indo-Australia.

Di satu sisi, tertunduk kepala kita oleh jatuhnya ratusan korban di Mentawai dan puluhan lainnya di sekitar Merapi. Dalam duka, mari kita semua ringankan hati dan tangan menolong saudara kita yang menjadi korban.

Kita melihat betapa naturalnya alam mengekspresikan diri guna mencapai keseimbangan baru. Perut bumi yang bergolak panas mendapatkan kelegaan setelah memuntahkan materi yang berikutnya menjadi pendorong kesuburan lahan pertanian. Sementara di pesisir barat Pulau Sumatera, kedua lempeng sejenak bisa tenang setelah melepas tenaga dorongan, yang mungkin kecil untuk ukuran pelat kerak bumi, tetapi katastrofik bagi manusia.

Menjadi tugas kita menyikapi semua lambang alam tersebut. Hingga kali ini kita masih berada dalam posisi defensif, dan setiap kali masih harus ”menerima kekalahan” dan ”merasakan dampak” setiap kali alam mencari keseimbangan baru. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, yang lalu bisa memberi kita sensor dan detektor canggih untuk mengetahui, atau setidaknya mengurangi, potensi dampak jika kita tak sanggup menghindari sepenuhnya, mestinya kita bisa berada dalam posisi lebih baik, diwujudkan dalam korban minimal—atau bahkan nirkorban—manakala ada bencana alam.

Kita paham, semua membutuhkan kesiapan. Untuk pemerintah, berlaku pepatah gouverner c’est prevoir atau ”memerintah itu melihat lebih dulu, atau melihat ke depan”. Dengan kemampuan melihat ke depan, sebagian hasil alam yang dieksploitasi—mulai dari minyak dan gas hingga hasil hutan—digunakan untuk melengkapi sensor gunung berapi, pelampung detektor tsunami, dan pemberi peringatan untuk lahan kritis yang terancam longsor.

Mungkin kita belum cukup banyak untuk ”berinvestasi” dalam upaya pembacaan alam, hingga setiap kali ada gunung meletus atau gempa dan tanah longsor, kita selalu dalam posisi sebagai korban. Kita ingin menggugah agar kita semakin dewasa. Bukan ingin menjadi empu yang menguasai alam, tetapi bangsa yang arif dalam memahami tanda-tandanya. Alam yang subur sebenarnya memberi kita daya untuk menjadikan kita bangsa yang punya kemampuan seperti itu.

***

Kaum Muda Kaca Retak

Dalam kedukaan mendalam atas musibah beruntun, gempa-tsunami Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi, adakah ruang merayakan Sumpah Pemuda?

Pertanyaan itu menggayut di saat kita bertelut dengan perasaan kalut atas deretan persoalan yang lambat ditangani. Mulai dari kasus korupsi yang terkesan lamban, mati rasanya anggota DPR, iklim ekstrem, hingga musibah gempa bumi-tsunami dan gunung api meletus.

Bicara perkara Sumpah Pemuda dalam situasi demikian menjadi nisbi, serba relatif, kurang relevan, tetapi terasa ada yang hilang membiarkan makna historis seruan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa makin hilang. Hasil jajak pendapat Kompas (25/10) menggambarkan wajah kaum muda (17-30 tahun) saat ini merupakan gambaran seribu wajah dengan banyak sisi kontradiktoris. Misalnya 77 persen responden lebih mementingkan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan bangsa dan 50,9 persen suka menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Seribu wajah kaum muda itulah cermin kegamangan. Kepentingan kelompok dan pragmatisme lebih jadi pilihan daripada kecintaan sebagai warga bangsa Indonesia. Pilihan pun pragmatis. Nasionalisme yang dirumuskan awal sebagai satu nusa, satu bangsa, satu bahasa diturunkan menjadi demi kepentingan individual dan praktis.

Seribu wajah itu ibarat kaca retak, yang secara individual berbeda, mulai dari yang memperjuangkan kebaikan bersama hingga yang paling pragmatis, seperti jadi demonstran bayaran atau ikut mereduksi berpolitik jauh dari cita-cita dan jiwa pengorbanan, pengabdian, dan patriotisme.

Dalam keadaan galau, parodi kaca retak potret kaum muda menawarkan ”tagih janji” representasi aktual. Memperjuangkan wacana kehidupan lebih demokratis, ya, tetapi lebih produktif adalah ikut mengadvokasi segera dieksekusinya persoalan yang mendesak—yang memang tidak hanya menjadi tanggung jawab kaum muda, tetapi terutama pengambil keputusan publik.

Musibah beruntun niscaya menjadi arena dan pelecut merepresentasikan jiwa dan semangat patriotisme-nasionalisme. Mengadvokasi praksis kepemimpinan yang eksekutif tanpa sengaja membangun citra, yang tercipta karena kebijakan dan praksis lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang prorakyat. Advokasi mengharapkan terciptanya solidaritas di kalangan pengambil kebijakan publik. Di tingkat eksekutif didahulukan dengan sigap persoalan yang mendesak. Musibah tidak cukup diratapi, tetapi menjadi kapstok mengubah sikap terhadap otoritas alam. Tak cukup diberi bantuan tanggap darurat, tetapi jadi pelecut kebijakan, keputusan, dan hati empati ke rakyat.

Sumpah Pemuda dengan semangat nasionalisme dan patriotisme menjadi pelecut kesadaran. Kita tinggal di atas Bumi yang rentan musibah. Di sana diuji seberapa jauh bisa diaktualkan nasionalisme Sumpah Pemuda 1928! Tak cukup dengan galau, tetapi mengubah sikap!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com