LAMPUNG, KOMPAS.com - Aktivis Walhi Lampung menilai pemerintah era Arinal Djunaidi yang telah berakhir tidak berpihak kepada petani dan lingkungan.
Walhi menyebut selama lima tahun berkuasa, pemerintahan Arinal tidak ada penyelesaian yang serius atas masalah-masalah tersebut.
Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri mengatakan, sejumlah masalah itu antara lain petani dan nelayan terabaikan serta konflik agraria berkepanjangan dengan perusahaan.
"Lalu kebijakan dan obral izin yang tidak promasyarakat," kata Irfan dalam keterangan persnya, Jumat (14/6/2024).
Baca juga: Stok Elpiji 3 Kg di Lampung Utara Langka, Warga Harus Keliling Berburu
Dia menambahkan, yang terbaru adalah belum dicabutnya Peraturan Gubernur (pergub) Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang tata kelola panen tebu yang membolehkan perusahaan membakar lahan.
Khusus kebijakan ini, Irfan mengatakan, hal tersebut menjadi tanda tanya besar kenapa pergub itu bisa dirumuskan dan disahkan. Sementara, Pemprov Lampung hingga kini belum memberikan tanggapan.
"Apa alasannya dibuat (pergub) itu? Terbitnya pergub itu sudah jelas menjadi karpet merah bagi korporasi melakukan pengabaian terhadap hak atas lingkungan hidup dan hak masyarakat," katanya lagi.
Irfan menambahkan, persoalan lain yang hingga kini masih terjadi adalah nasib petani dan nelayan yang terabaikan.
Dia mengatakan, program unggulan "Kartu Petani Berjaya" yang selalu digadang-gadang melindungi dan memberikan kemudahan akses terhadap petani, justru kontradiksi dengan apa yang terjadi di lapangan.
"Eksistensi petani Lampung terancam karena sulitnya mengakses pupuk subsidi, kenaikan harga bibit dan obat-obatan, serta harga jual hasil pertanian yang sangat murah, ketersediaan ruang atau lahan pertanian," katanya.
Baca juga: Tak Lagi Jadi Gubernur Lampung, Arinal Tinggalkan PR Izinkan Bakar Lahan Saat Panen Tebu
Kemudian konflik agraria dengan perusahaan yang terjadi berkepanjangan membuat banyak petani di Lampung kehilangan lahan garapan.
Menurut Irfan, dampak konflik ini meluas ke aspek sosial, karena banyak petani yang kehilangan akses lahan garapan yang sudah berlangsung secara turun temurun, serta terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek pembangunan tersebut.