LAMPUNG, KOMPAS.com - Ribuan keluarga petani di Lampung disebut menjadi korban konflik agraria, yang banyak dipicu oleh mafia tanah.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi mengatakan, setidaknya 41.964 warga dampingan hukum lembaga itu adalah korban konflik agraria, pada tahun 2023.
"Angka ini dihitung dari jumlah jiwa dalam keluarga petani yang didampingi oleh LBH Bandar Lampung," kata Sumaindra saat aksi demonstrasi Serikat Petani Lampung (SPL) di Tugu Adipura, Rabu (29/5/2024) kemarin.
Menurut Sumaindra, persoalan agraria di Provinsi Lampung seakan tidak pernah selesai. Dia mengklaim, kasus konflik agraria terjadi hampir di seluruh provinsi.
Baca juga: Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi Dibanding Enam Negara Asia
Berdasarkan catatan LBH Bandar Lampung, pada tahun 2023 konflik agraria mencangkup 3.280 hektar tanah.
Konflik ini terjadi di antaranya di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Way Kanan, dan Lampung Timur.
"Pada dasarnya, konflik agraria yang terjadi karena adanya ketimpangan pada penguasaan, dan kepemilikan tanah oleh sebagian orang," kata dia.
Dia menjabarkan, kasus-kasus agraria di Lampung dapat diketahui secara kasat mata karena memiliki kesamaan.
"Kasus-kasus agraria di Lampung memiliki corak aktor yang terdiri dari aktor swasta berupa perusahaan perkebunan, aktor negara maupun perorangan," kata dia.
Salah satu kasus yang didampingi LBH Bandar Lampung adalah 400 petani di Desa Purwotani, Desa Sinar Rejeki dan Desa Sindang Anom (Lampung Selatan).
Baca juga: Komnas HAM Catat 2.276 Konflik Agraria dalam 4 Tahun Terakhir Kepemimpinan Jokowi
Warga di ketiga wilayah itu kehilangan lahan garapannya karena pembangunan Kota Baru oleh Pemprov Lampung.
Kemudian 418 petani di delapan desa di Lampung Timur yang kehilangan tanah karena mafia tanah yang sengaja menerbitkan sertifikat di atas 401 hektar tanah garapan mereka.
Delapan desa itu adalah Desa Sri Pendowo Sri Pendowo, Desa Bandar Agung, Desa Waringin Jaya, Desa Wana, dan Desa Sri Menanti.
Kemudian Desa Giring Mulyo, Desa Sribhawono, dan Desa Brawijaya.
"Sertifikat yang terbit tersebut dapat diduga kuat terdapat proses yang manipulatif, tertutup, dan dengan itikat buruk," kata Sumaindra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.