KOMPAS.com - Sasando adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dari Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bentuk alat musik sasando yang unik membuat siapapun yang melihatnya pertama kali akan langsung tertarik.
Belum lagi ketika mendengar suara sasando yang merdu, orang yang mendengarnya sudah pasti akan jatuh hati.
Baca juga: Kunjungan Ibu Negara Iriana Jokowi ke Labuan Bajo, Konser Suara 1.000 Sasando Siap Menyambut
Dalam keseharian masyarakat Rote, sasando kerap dimainkan untuk mengiringi tarian, lagu, syair, dan acara hiburan lainnya.
Alat musik sasando juga biasa disebut sasandu (bunyi yang dihasilkan dari getar).
Baca juga: Sasando, Senandung Cinta untuk Sang Putri dari Pulau Rote
Dilansir dari laman Kemendikbud, karena alat musik ini beresonansi, maka disebut sandu atau sanu yang dalam bahasa setempat berarti bergetar atau meronta-ronta.
Kemudian alat ini disebut sebagai sasando, yang berasal dari kata ulang sandu-sandu atau sanu-sanu yang berarti bergetar berulang-ulang.
Baca juga: Organisasi Hak Atas Kekayaan Intelektual Dunia Akui Alat Musik Sasando dari Indonesia
Sasando ternyata memiliki sejarah yang lekat dengan cerita nenek moyang orang Rote.
Seperti dilansir dari laman Kemendikbud, terdapat beberapa versi legenda setempat yang dipercaya mengisahkan asal-usul dari alat musik tradisional berbahan daun lontar ini.
Cerita pertama berkisah tentang seorang pemuda bernama Sangguana yang terdampar di pulau Ndana saat melaut, dan kemudian dibawa oleh penduduk menghadap raja di istana.
Sangguana yang memiliki bakat seni membuat sang putri terpikat, dan lalu memintanya untuk dibuatkan sebuah alat musik yang belum pernah ada.
Diilhami dari sebuah mimpi, Sangguana kemudian menciptakan alat musik yang kemudian diberi nama Sandu (artinya bergetar).
Ketika memainkannya alat musik tersebut, sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan dan Sangguana menjawab “Sari Sandu”.
Alat musik itu pun ia berikan kepada sang Putri dan diberi nama Depo Hitu yang artinya Sekali Dipetik Tujuh Dawai Bergetar.
Cerita kedua berkisah tentang Lumbilang dan Balialan, dua orang penggembala yang meladang bersama domba-dombanya.
Mereka membawa selembar daun lontar untuk menimba air saat kehausan di siang hari.
Untuk menimba air, daun lontar akan dilipat dengan bagian tengah daun berwarna kuning muda harus dibuang. Namun ketika hendak melepas, tali tersebut dikencangkannya.
Tali yang ditarik keras ternyata dapat menimbulkan bunyi yang berbeda-beda.
Namun tali yang sering terputus membuat keduanya lantas harus mencungkili lidi-lidi tersebut.