KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, menjatuhkan vonis penjara selama dua tahun dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan kepada empat terdakwa kasus obat batuk sirup yang berbuntut gagal ginjal akut pada anak, pada Rabu (1/11/2023)
Vonis ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yaitu hukuman penjara selama tujuh hingga sembilan tahun penjara.
Keempat terdakwa adalah Direktur Utama PT Afi Farma, Arief Prasetya Harahap; Manajer Pengawasan Mutu PT Afi Farma, Nony Satya Anugrah; Manajer Quality Insurance PT Afi Farma, Aynarwati Suwito; dan Manajer Produksi PT Afi Farma, Istikhomah.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Arief dengan penjara selama sembilan tahun. Adapun ketiga terdakwa lainya dituntut lebih ringan, yakni tujuh tahun. Keempatnya juga didenda Rp1 miliar atau subsider enam bulan kurungan.
Baca juga: Bos PT Afi Farma, Produsen Obat Penyebab Gagal Ginjal Akut, Hanya Divonis 2 Tahun Penjara
Hakim menilai keempat terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja memproduksi barang farmasi tidak memenuhi standar dan faktor keamanan.
Para terdakwa terbukti melanggar Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Menanggapi putusan tersebut, keempat terdakwa menyatakan pikir-pikir.
Hal senada diutarakan jaksa penuntut umum. ”Kami pikir-pikir dulu. Kemungkinan kami akan banding karena vonisnya di bawah tuntutan kami,” ujar JPU Sigit Artantodjati, seusai sidang, sebagaimana dilaporkan harian Kompas.
Sebelumnya, dalam dokumen dakwaan, JPU menyebut ada bahan baku campuran obat Propelin Glikol tercemar etilen glikol dan dietilen glikol yang terkandung dalam produk farmasi PT Afi Farma.
Baca juga: Sidang Class Action Gagal Ginjal Akut Lanjut ke Pokok Perkara jika Mediasi Gagal
JPU menyebut perusahaan itu sebenarnya punya alat gas chromatography untuk mengetes produk farmasi, tetapi tidak dilakukan sebagaimana standar aturan Farmakope VI dari Kementerian Kesehatan.
Aturan itu menyatakan bahan campuran obat harus dites dulu dengan alat tersebut. ”Namun, hal itu tidak dilakukan,” katanya.
PT Afi Farma mendapatkan propilen glikol (PG) dari penyuplai yang menurut polisi mengoplos bahan tersebut dengan zat beracun etilen glikol (EG). Perusahaan itu dituduh lalai karena tidak melakukan pengecekan pada bahan baku.
Pengacara PT Afi Farma mengatakan pihaknya tidak melakukan pengujian zat beracun etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) karena berpegangan pada certificate of analysis (COA).
Baca juga: Menkes Berencana Bawa Masalah Santunan Gagal Ginjal Akut ke Presiden
Dia menuduh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak melakukan pengawasan ketat terhadap bahan baku.
Raina mengalami gagal ginjal setelah minum obat penurun panas berbentuk sirop yang diproduksi PT Afi Farma. Obat itu diperoleh dari Puskesmas, namun belakangan dilarang beredar oleh BPOM.
Ibu Raina, Sri Rubiyanti, mengatakan saat ini berat badan anaknya masih jauh di bawah anak normal seusianya. Tulangnya “seperti bayi lagi” dan syaraf penggerak matanya terganggu.
Upaya pemulihan Raina membutuhkan biaya yang tidak sedikit, kata Sri. Biaya cuci darah memang ditanggung BPJS Kesehatan tetapi keluarga itu masih harus merogoh kocek pribadi untuk membeli susu dan obat untuk tulang Raina serta pengeluaran lainnya. Padahal, mereka bukan keluarga berada.
Baca juga: Belajar dari Kasus Gagal Ginjal Akut, Ombudsman Usul RUU Kesehatan Atur Tugas Fungsi Surveilans
“Bukan terbebani lagi, beban banget. Ini kan bukan bawahan lahir, maksudnya [bukan] takdir, bawaan lahir. Ini kan kelalaian dari pemerintah, bukan harusnya kami yang tanggung,” keluh Sri.