SEMARANG, KOMPAS.com-Sebagian wilayah Jawa Tengah termasuk zona merah yang tergolong dalam kondisi air tanah kritis.
Untuk itu, menindaklanjuti Keputusan Menteri ESDM Nomor 291 Tahun 2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah, Dinas ESDM Jateng meminta masyarakat Jateng mulai mengajukan izin unuk pemanfaatan air tanah di wilayahnya.
Baca juga: Atasi Krisis Air Bersih, Wali Kota Makassar Akan Gunakan Geolistrik Mencari Sumber Air Tanah
Kepala Dinas ESDM Jateng, Boedya Dharmawan menilai izin itu diperlukan agar pihaknya dapat memetakan kondisi air tanah di seluruh wilayah, baik dalam kondisi sedang ataupun kritis.
"Izin untuk mengendalikan dan mengetahui (debit air yang diambil dan digunakan), karena mereka ada pelaporan penggunaan air, larinya ke neraca air, dari potensi cekungan, kecepatan imbuhan, dan lainnya. Nanti akan dipetakan zona merah, kuning, lalu jadi dasar untuk penerbitan izin berikutnya," kata Beodya ditemui di kantornya, Selasa (31/10/2023).
Pihaknya menjelaskan, perizinan ada dua peruntukan, yakni untuk pemanfaatan air permukaan dan air tanah.
Secara umum, yang termasuk air permukaan merupakan air yang terletak di permukaan tanah hingga kedalaman kurang lebih 40 meter. Contohnya seperti sungai dan sumur. Sementara air tanah memiliki kedalaman paling tidak 40 meter. Namun keduanya sama-sama memerlukan perizinan dalam pemanfaatannya sebagai upaya konservasi sumber daya air.
"Perizinan untuk usaha sudah ada dari dulu, prosesnya perizinan pengeboran, lalu tahap kedua baru izin pengusahaan air tanah atau (SIPA)," katanya.
Baca juga: Dari 5.000 Badan Usaha di Jatim, Baru Satu Persen yang Mengurus Izin Pengusahaan Air Tanah
Dia menambahkan, air baku biasanya digunakan masyarakat untuk kepentingan rumah tangga atau pertanian. Sehingga izin pemanfaatan air tanah bagi masyarakat berbeda dengan industri yang melakukan usaha yang berpengaruh pada pajak.
Menurutnya air permukaan yang lebih banyak digunakan untuk irigasi lahan pertanian masih memiliki kendala.
Banyak lahan yang berebut air permukaan hingga akhirnya mereka memilih untuk memakai air tanah.
Begitu pun untuk kebutuhan baku rumah tangga, air permukaan terkadang belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Sedangkan PDAM belum mampu menyediakan air bagi seluruh warga. Padahal semestinya prinsip pengelolaan air tanah, menjadikan air tanah sebagai alternatif terakhir dan memprioritaskan air permukaan.
"Masyarakat sudah terlalu mengenal air tanah. Agak repot saat mereka sudah terlanjur mengenal air tanah," katanya.
Untuk itu, pihaknya menilai perlu regulasi yang mengatur pemanfaatan air tanah oleh masyarakat. Sehingga sumber daya air tetap terjaga dan bisa digunakan dalam waktu yang lebih panjang.
"Kalau PDAM sanggup mencukupi kebutuahn masyarakat, kami tidak menerbitkan izin (penggunaan air tanah)," imbuhnya.
Lebih lanjut, pihaknya melakukan pemantaua sumur di zona air tanah yang kritis atau rawan. ESDM Jateng menambah infrastruktur sumur pantau memantau pergerakan muka air tanah.
"Zona rusak yang teridentifikasi, di wilayah cekungan air tanah di Pekalongan, Semarang, sampai Sayung, kabupaten Demak," jelasnya. Pada zona rawan itu, pihaknya melarang pengeboran sumur baru khususnya bagi industri. Sedangkan sumur yang sudah ada akan dilakukan pengurangan debit air.
"Saat ini yang jadi perhatian zona merah, kami menegakkan kebijakan untuk tidak menerbitkan izin baru pengambilan air tanah," tegasnya.
Sejauh ini, pihaknya telah mengeluarkan ribuan izin pemanfaatan air tanah. Namun kini sebagian besar izin menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Sementara pihaknya memegang perizinan beberapa daerah di Jateng. Yakni Brebes, Tegal, Kabupaten Tegal, Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Batang, Pemalang, Kendal, dan sebagian Semarang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.