SEMARANG, KOMPAS.com - Pengamat Politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Abdul Wachid menilai, terpilihnya Mahfud MD sebagai cawapres pasangan Ganjar Pranowo diharapkan dapat memperluas basis elektoral Ganjar.
Terlebih, mengingat Mahfud memiliki akar di Jawa Timur dan Madura, daerah asalnya. Lalu juga di kalangan pemilih santri dan kiai.
Kendati memiliki rekam jejak yang cukup berpengaruh di Jatim, menurut Wachid, Mahfud MD belum memiliki jaringan politik sebaik Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Baca juga: Bobby soal Ditunjuk Jadi Jurkam Ganjar-Mahfud: Saya Masih Kader PDI-P
"Tapi dalam konteks memiliki jaringan politik yang terorganisisr itu tampaknya memang harus dibuktikan. Berbeda dengan Cak Imin, yang dia punya mesin politik, kemudian dengan tokoh-tokoh lainnya yang sudah lama bergerak dengan politik," tutut Wachid, Sabtu (21/10/2023).
Wachid menilai, selama ini Mahfud lebih dikenal banyak berkecimpung di dunia akademik. Meski dirinya memang memiliki pengalaman politik cukup panjang, hal itu tidak menjamin suara kalangan NU akan berlari kepadanya.
Perlu strategi politik matang agar efek kandidat terpilihnya Mahfud dapat dikapitalisasi menjadi lebih terorganisir. Pasalnya ini menjadi pertarungan sengit dengan pasangan Anies-Cak Imin untuk memperebutkan suara warga NU di Jatim dan Jateng.
"Ini yang masih menimbulkan pertanyaan, karena efek kandidat (Mahfud MD) lebih pada sifatnya personal. Kemudian belum mampu terorganisir. Kalau mau dapat efek kandidat, harus mampu mengorganisir. Itu tantangan dari Prof Mahfud," katanya.
Tak cukup sampai di situ, tantangan bagi pasangan Ganjar-Mahfud akan bertambah besar bila mana Prabowo memiliki posisi elektoral yang matang dan kuat di Jawa Timur nantinya.
Sementara itu, pihaknya menilai keberadaan Mahfud sebagai lawan dari pasangan calon lainnya yakni Cak Imin, tidak akan memecah belah suara warga NU.
Baca juga: Ganjar-Mahfud Jalani Tes Kesehatan 9 Jam, RSPAD Bakal Serahkan Hasilnya Ke KPU
Menurutnya, secara organisasi NU bersikap netral dan tidak terjun ke politik praktis. Tetapi, meskipun tidak punya KTA atau struktur NU, suara warga NU terbilang besar dan menentukan hasil kontestasi pemilu. Khususnya di Jatim dan Jateng.
Akhirnya kedua wilayah ini jadi lokasi pertempuran bagi kandidat capres-cawapres yang memiliki akar di kalangan Nahdliyin. Karena menurut Wachid, paling tidak ada semacam efek elektoralnya dan memnuat posisinya semakin strategis.
"Kalau persaingan yang tidak sehat itu yang akan memecah belah persatuan di kalangan nahdliyin sendiri. Menjadi penting untuk melihat sejauh mana kedewasaan politik kalangan nahdliyin," lanjutnya.
Pasalnya ini bukan pertama kalinya kadidat berangkat dari NU mencalonkan diri di kubu yang berbeda. Pada 2004, ada empat kandidat berangkat dari kalangan NU dan itu dianggap hal wajar bagi NU.
Baca juga: Cak Imin Klaim PKB Lebih Kuasai Basis Massa NU Ketimbang Mahfud
"Menariknya bagaimana masing-masing Mahfud dan Cak Imin harus bisa membuat inovasi yang selangkah lebih maju dibanding pemilu 2004. Ketika itu banyak kandidat NU, kita masih menunggu bagaimana pola mereka untuk menarik simpati," jelasnya.
Sejauh ini pihaknya sudah cukup sering menyaksikan paslon Anies-Cak Imin dan Ganjar menyambangi kiai dan banyak pesantren. Ia melihat hal ini sebagai budaya politik santri yang sudah lama mengakar. Namun pihaknya masih berharap adanya gebrakan baru lainnya setelah ini.
"Si Anis-Cak Imin (Amin) turun ke pesantren, Ganjar juga, itu kan cara untuk menarik perhatian santri, karena kan budaya politik santri seperti itu. Tidak hanya sekadar memanfaatkan elektoralnya, tapi bagaimana mencerdaskan pemilih santrinya," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.