GORONTALO, KOMPAS.com – Brievenbus (bus surat) peninggalan era Pemerintah Hindia Belanda masih berdiri di tepi jalan utama Kota Gorontalo tepat di depan bangunan kantor pos. Warnanya oranye, sama dengan warna pagar besi yang berada di sampingnya.
Di era sekarang, tidak banyak generasi yang mengenali struktur yang terbuat dari besi tebal ini.
Zaman telah berubah, nyaris tidak ada lagi orang berkirim surat melalui kantor pos, apalagi memasukkan selembar surat ke bus surat besi ini. Namun brievenbus ini tetap kokoh melewati perubahan zaman.
“Saat kami membawa 4 wisatawan asal Belanda berkeliling kota tua, 2 oarng dewasa dan 2 remaja, yang justru menunjukkan ketertarikan pada bus surat ini adalah 2 remaja yang berumur belasan tahun,” kata Mukmin Bady yang biasa disapa Mimin seorang pemandu wisata di Kota Gorontalo, Sabtu (16/9/2023).
Baca juga: Memanfaatkan Jasa Fotografer Jalanan untuk Dapat Foto Keren di Kota Tua Bandung
Selain mendengar penjelasan pemandu wisata, sesekali dua remaja asal negeri kincir angin ini bertanya pada orang ibunya tentang korespondesi di masa lalu, bagaimana orang berkomunikasi dengan menuliskan pesan melalui selembar surat.
“Jadi surat ini dimasukkan ke lubang besi ini?” kata salah seorang remaja tersebut, wajahnya serius menunjukkan mimik keheranan.
Ia berusaha mengintip lubang surat di sisi kanan dan kiri bus surat ini, namun ia hanya mendapati celah sempit yang pas untuk sebuah surat saja.
“Pada jam tertentu petugas akan membuka bus surat ini untuk dibawa ke kantornya, menyortirnya dan mengirimkan ke alamat yang tertulis di bagain depan surat,” ujar Mimin Badu kepada wisatawan yang dipandunya.
Dari Kota Gorontalo inilah surat-surat ini dikirim ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke negeri Belanda. Perjalanan sepucuk surat ini berawal dari bus surat tua yang masih kokoh menghias Kota Gorontalo.
Surat yang berisi kabar berita di negeri tropis, kerinduan, hingga informasi penting dikirim melalui kantor pos ini.
“Pada masanya kantor pos adalah instansi vital dan stratregis, siapa yang menguasai bangunan ini merekah yang berkuasa. Pada saat pergolakan kemerdekaan tahun 1942 kantor ini menjadi sasaran utama para pejuang, mereka merebutnya,” ujar Mimin.
Baca juga: Sejarah Kota Tua Ampenan, Ibu Kota Sebelum Mataram dan Saksi Pulau Lombok Bagian Keresidenan Bali
Saling berkirim surat melalui pos adalah cara berkomunikasi yang lazim pada masanya, sebelum ditemukan teknologi telepon seluler, orang-orang saling berkirim kabar melalui surat, bahkan mahasiswa atau pelajar waktu itu mendapat kiriman uang pun melalui wesel pos, sebuah produk pengiriman uang dari jasa pos yang memakan waktu berhari-hari.
Blanko wesel pos ini berupa selembar kertas yang agak tebal, pengirim uang harus mengisi nama dan alamat pengirim, juga penerima uang, besaran uang kiriman dan ada kolom yang dapat dimanfaatkan untuk menulis pesan.
Wesel pos ini tidak dibungkus dalam amplop, sehingga terlihat siapa pengirim, penerima dan jumlah uang kiriman, termasuk kabar yang tertulis.
“Kalau wesel pos tidak dimasukkan ke bus surat, karena uang tunai yang akan dikirim harus diserahkan langsung ke petugas pos di loket,” ujar Mimin Badu.