BENGKULU, KOMPAS.com - Pulau Enggano, pulau terluar di Provinsi Bengkulu ditempati oleh enam suku bangsa, yakni Kauno, Kaitora, Kaarubi, Kaaruba, Kaahoao, dan Kaamai (pendatang).
Dalam catatan sejarah, pulau ini mulai ditempati manusia sekitar tahun 1500-an. Dahulu, perang antar-suku yang merebutkan wilayah terjadi di sini.
Pertempuran antar-suku berakhir saat Pulau Enggano dikuasai Belanda, dengan terbitnya perjanjian Barharu tanggal 23 April 1908. Perjanjian Barharu ditandai dengan berdirinya tugu perdamaian di Desa Malakoni dan pembentukan ikatan persaudaraan yang dinamakan Paano’a.
Kini, masyarakat Pulau Enggano harus berperang melawan perubahan iklim dan teknologi untuk bertahan hidup.
Baca juga: UMKM Pulau Enggano Mengeluh Tak Dapat Nikmati Layanan KUR
Bagi mereka, laut adalah ladang nafkah untuk bertahan hidup. Banyak hasil laut yang mereka tangkap seperti ikan, lobster, tiram, kepiting bakau, yang semuanya memiliki nilai ekspor.
Namun, perubahan iklim, ledakan penduduk, dan pemanasan global memengaruhi hasil tangkapan laut. Hal ini semakin diperparah dengan teknologi alat tangkap yang tidak sesuai dengan kondisi alam.
"Kapal kami hanya di bawah 5 GT, alat tangkap kami mash jaring, pancing. Kalah dengan alat tangkap nelayan modern," kata Alamudin Kepala Desa Kaana.
Menurut Alamudin, agar hasil tangkapan laut melimpah, SDM nelayan dan teknologi harus ditingkatkan.
"Dahulu nelayan tak perlu pergi jauh ke tengah laut mencari tangkapan karena hasil laut masih melimpah. Sekarang perjuangan di laut membutuhkan bantuan teknologi canggih. Kami kalah. Saat ini hanya bisa bertahan saja," ungkapnya.
Kondisi semakin buruk saat angin tenggara datang berbulan-bulan, mengakibatkan nelayan tidak bisa melaut dan harus memutar cara bertahan hidup di pulau dengan luas 4.000 kilometer persegi itu.
Saat angin tenggara datang, warga beralih ke darat. Berkebun pisang, mengolah kelapa, jengkol, melinjo, serta bisnis lainnya.
Mencari nafkah di darat tentu tak luput dari persoalan. Jalur transportasi ke luar pulau menjadi "badai" paling berat.
Ada kapal ferry dan pesawat udara perintis beroperasi dua kali seminggu. Kendala transportasi jadi momok menakutkan hasil pertanian tak bisa diangkut ke luar pulau karena kapal laut juga terpengaruh badai.
"Ratusan ton pisang membusuk di dermaga sering kami alami, ikan juga membusuk karena pabrik es tidak ada. Terpaksa dibuang sia-sia kalau membusuk," ungkap Diki warga Enggano lainnya.
Baca juga: Kisah Zakaria Bisnis Minyak Kelapa, Produksi 200 Liter Per Hari untuk Pulau Enggano
Penguatan pangan di pulau menjadi perhatian mengutama saat ini tersapat 300 hektare sawah tadah hujan menopang pangan warga pulau namun irigasi rusak. Masih ada 800 hektare potensi lahan yang dapat diolah bila irigasi membaik.
"Tahun 1970 irigasi bagus sekarang sudah rusak tak mampu airi persawahan," ungkap warga lain.
Ada banyak persoalan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan semua pihak termasuk swasta dan pemerintah.
Angkutan kapal barang, angkutan kapal penumpang dengan jadwal yang disiplin tentu saja mengemuka saat anggota DPR RI Komisi XI Susi Marleny Bachsin berdialog dengan warga pulau.
"Persoalan-persoalan ini akan kami diskusikan dengan kementerian terkait. Kami akan petakan penanganannya dari hulu ke hilir," pungkas Susi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.