SALATIGA, KOMPAS.com - Tawuran antarpelajar mewarnai tahun ajaran baru 2023/2024 di Salatiga. Aksi saling kejar pelajar yang bersenjata tajam tersebut terekam dalam video amatir.
Video pertama memerlihatkan beberapa pelajar bercelana abu-abu mengenakan hoodie dan helm, membawa senjata tajam jenis celurit mengejar kelompok lain. Terlihat juga beberapa pelajar yang berada di atas kabin truk.
Sementara video kedua terlihat seorang warga yang sedang membuka tas pelajar. Di dalam tas tersebut ada topi dan dasi siswa yang bertuliskan nama sebuah SMK di Kota Salatiga. Selain itu ada juga sebuah celurit dan surat berkop SMK tersebut.
Baca juga: 5 Remaja Bawa Parang untuk Tawuran Ditangkap di Lhokseumawe
Dari keterangan yang dihimpun, tawuran pelajar tersebut terjadi Senin (24/7/2023) sekira pukul 16.00 WIB. Bermula dari Jalan Lingkar Salatiga (JLS) Cebongan, para pelajar berkejaran hingga masuk ke wilayah Desa Bener, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.
Warga yang resah dengan tawuran pelajar tersebut kemudian melapor ke Polsek Tengaran.
"Ada laporan dari warga terkait tawuran tersebut. Kita melakukan pengamanan ke lokasi tapi sudah tidak ada para pelaku," kata Kapolsek Tengaran AKP Supeno saat dihubungi, Selasa (25/7/2023).
Terpisah, pengamat sosial dari Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Antik Tri Susanti mengatakan maraknya kejadian tawuran antar kelompok remaja karena mereka membutuhkan ruang ekspresi.
"Usia-usia pelajar tersebut sedang tahap membangun konsep diri. Mereka merasa di keluarga atau sekolah tidak ada ruang tersebut, lalu membentuk kelompok sendiri," jelasnya.
"Kondisi ini akan semakin parah saat ada labeling mereka adalah pelajar yang nakal. Padahal kelompok itu adalah upaya mereka agar dihargai demi eksistensi," kata Antik.
Menurut Antik, kelompok remaja itu memiliki ego dan aturannya sendiri.
"Jika ego ini terganggu atau diprovokasi, jiwa mereka akan melawan. Salah satunya dengan pelariannya di tawuran," paparnya.
Kelompok ini, lanjutnya, memiliki jenjang dan senioritas. Bahkan kalau ingin bergabung harus melalui tes yang dilalui.
"Dengan begitu, saat diterima dalam kelompok ada kebanggaan, mereka ada acuan atau pengaruh kelompok yang dominan," ungkap Antik.
Dia berharap orangtua dan sekolah memberi ruang lebih kepada anak-anak untuk berekspresi.
"Pemerintah bisa mendukung dengan memberi ruang kreatif dan ruang publik yang menyejukkan. Jadi semua pihak terlibat agar anak-anak tidak terjerumus ke hal yang negatif," paparnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.