KOMPAS.com - Pertempuran lima hari di Semarang terjadi merupakan perlawanan antara masyarakat Semarang dengan tentara Jepang.
Pertempuran lima hari di Semarang terjadi pada masa transisi kekuasaan Jepang ke Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945 hingga 20 Oktober 1945.
Peristiwa lima hari di Semarang adalah peristiwa sejarah hingga dibangun monumen Tugu Muda yang terletak simpang lima, Jalan Pandanaran, Jalan Mgr Sugiopranoto, Jalan Imam Bonjol, Jalan Pemuda, dan Jalan dr. Sutomo.
Sejumlah tokoh terlibat dalam pertempuran lima hari di Semarang.
Kariadi lahir di Singosari, Malang, 15 Septemebr 1905. Dia berhasil menamatkan pendidikan kedokteran Nederlandsch Indische Artsen School pada tahun 1931.
Setelah lulus sekolah kedokteran dan mendapatkan gelar, Kariadi kemudian bekerja sebagai asisten dr Soetomo di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) di Surabaya.
Dalam perjalanan profesinya sebagai dokter, Kariadi sering berpindah tempat.
Pada tanggal 1 Juli 1942, dr Kariadi diberi tanggung jawab sebagai Kepala Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) di Semarang.
Baca juga: Pertempuran Lima Hari di Semarang: Latar Belakang dan Tokohnya
Saat peristiwa Pertempuran Lima Hari berlangsung, Kariadi diminta oleh pimpinan Rumah Sakit Purasara untuk memeriksa tandon air Reservoir Siranda, sebab dikabarkan Jepang menebarkan racun di tempat tersebut.
Kariadi segera berangkat begitu menerima perintah dari pimpinan rumah sakit.
Di tengah perjalanan menuju Reservoir Siranda, mobil yang ditumpanginya dicegat oleh Jepang. dr Kariadi ditembak secara keji oleh tentara Jepang.
drg Soenarti, istri dr Kariadi, sempat mencegah suaminya untuk pergi memeriksa sumber air minum, reservoir Siranda.
Mengingat pada saat itu, situasi sangat berbahaya sebab tentara Jepang telah melakukan serangan di sejumlah tempat termasuk Reservoir Siranda.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, kekuasaan Jepang di Indonesia harusnya telah usai.
Di sejumlah wilayah Jawa Tengah, terjadi pelucutan senjata Jepang tanpa kekerasan.
Namun berbeda dengan di Semarang, pelucutan senjata diwarnai dengan kekerasan.
Gubernur Wongsonegoro telah menjamin bahwa senjata tidak digunakan untuk melawan Jepang. Upaya tersebut tidak mampu membujuk Jepang melepaskan senjatanya.
Mr Wongsonegoro menjadi salah satu orang yang ditangkap Jepang dalam peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Peristiwa tersebut terjadi setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) pasukan pemuda terdesak oleh tentara Jepang.