KOMPAS.com - Ribuan jiwa yang tersebar di ratusan titik pengungsian di tiga kecamatan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, kini sedang menanti relokasi rumah setelah tempat tinggal mereka musnah dilalap guguran awan panas Gunung Semeru pada akhir 2021 lalu.
Sejumlah keluarga pasrah dengan relokasi rumah yang masih pada tahap awal pembangunan hunian sementara atau huntara. Namun, ada pula yang menolak relokasi karena beragam alasan.
BNPB dan pakar vulkanologi, Surono, mengimbau agar pengungsi bersedia direlokasi karena area yang terdampak langsung erupsi Semeru akan terdampak lagi di masa depan
Menurut Surono, relokasi adalah hal yang krusial karena bencana alam yang menimbulkan korban jiwa dan berulang kali terjadi di Semeru dan wilayah rawan lainnya di Indonesia dipicu oleh pengelolaan tata ruang yang salah.
Sementara itu, pemerintah setempat tidak bisa memberi kepastian jadwal relokasi. Namun, yang pasti, menurut Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, kebutuhan warga akan dipenuhi.
"Alhamdulillah, bantuan sembako banyak. Kalau ada bantuan uang dari donatur [kami pakai] untuk beli lauknya," kata Leni Marlina, warga Kecamatan Candipuro yang hingga saat ini rumahnya masih terendam lumpur vulkanik dan banjir.
Sementara, relokasi 2.000 rumah yang terdampak langsung guguran awan panas Semeru masih berada pada tahap awal pembangunan hunian sementara atau huntara.
Adapun hunian tetap atau huntap akan dibangun setelahnya. Namun, kepastian jadwal relokasi belum tersedia.
Baca juga: 8 Potongan Tubuh Korban Erupsi Gunung Semeru yang Sulit Teridentifikasi Dimakamkan
"Kalau timeline saat ini masih dimatangkan oleh pemerintah daerah karena [proyek] ini berjalan dilakukan oleh satgas transisi darurat terutama bupati," kata Abdul Muhari Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB kepada BBC News Indonesia lewat sambungan telepon.
"Tapi yang pasti secepatnya, karena kita tidak mengharapkan masyarakat yang terdampak, tinggal terlalu lama di pengungsian."
Di tengah penantian itu, Leni merasa beruntung. Ia beserta suami dan dua putrinya bisa menumpang di rumah salah seorang keluarga di Desa Jarit, Kecamatan Candipuro--tidak jauh dari titik-titik pengungsian yang tersebar di area itu.
Baca juga: Cerita Menegangkan Tim SAR Evakuasi 2 Kakek yang Terjebak Banjir Lahar Dingin Semeru
Ada pula pakaian sehari-hari yang ditumpuk begitu saja di sebuah sudut rumah. Itu semua adalah sebagian harta benda yang bisa diselamatkan dari rumah mereka di Dusun Kamar Kajang.
Rumah tersebut telah mereka tinggali selama setidaknya 11 tahun.
Tapi kini bangunan itu tidak hanya terendam lumpur vulkanik, tapi juga banjir akibat luapan Sungai Besuk Sat.
Baca juga: Cerita Menegangkan Tim SAR Evakuasi 2 Kakek yang Terjebak Banjir Lahar Dingin Semeru
Lumpur membuat sungai itu menjadi dangkal dan menutup saluran-saluran drainase. Hujan dengan intensitas tinggi yang turun hampir setiap hari akhirnya meluapkan air sungai dan merendam puluhan rumah.
Jika bantuan logistik dan dana tetap mengalir, Leni yakin keluarganya bisa bertahan setidaknya satu sampai dua bulan ke depan.
"[Saya khawatir] kemungkinan bantuan dari donatur mungkin akan selesai pada bulan ini," kata Leni mengungkapkan kegelisahannya. "Relawan-relawan juga sudah pulang," tambah dua.
Baca juga: Detik-detik Evakuasi Kakek Suara dan Buang yang Terjebak Lahar Hujan Gunung Semeru
Suami Leni, Agus Sutikno, biasa berprofesi sebagai supir. Namun di tengah ketidakpastian saat ini, ia belum bisa kembali mencari nafkah.
Ia berharap besar bisa melanjutkan hidupnya saat ia dan keluarga menempati rumah di lahan relokasi nanti.
"Saya menerima direlokasi, karena mau bagaimana lagi. Saya menerima karena keadaan," kata Agus.
Kegelisahan keluarga Leni dan Agus juga dirasakan oleh banyak pengungsi Semeru lainnya. Berdasarkan data terkini BNPB, jumlah pengungsi mencapai 10.400 jiwa, dan tersebar di 406 titik pengungsian di tiga kecamatan di kabupaten Lumajang.
Baca juga: Kolom Abu Setinggi 200 Meter Teramati di Puncak Gunung Semeru