Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM Minta Polisi Pertimbangkan Sejarah dalam Atasi Sengketa Masyarakat Adat

Kompas.com - 03/10/2015, 02:43 WIB
Kontributor Balikpapan, Dani J

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com– Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengingatkan kepolisian daerah di Kalimantan Timur agar menangani secara adil kasus konflik perusahaan dengan komunitas adat. Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution mengatakan, polisi sering menyelesaikan persoalan konflik hanya berdasar aspek legalitas surat semata. Akibatnya, masyarakat adat selalu dianggap bersalah.

“Kita tidak antiinvestasi. Kita perlu mengingatkan, kalau nanti terjadi konflik, polisi selalu hanya melihat mana yang legal berdasar surat. Bila demikian tidak akan ketemu akar permasalahannya,” kata Maneger di Balikpapan, Jumat (2/10/2015).

Maneger mengatakan, seharusnya polisi juga memperhatikan perjalanan panjang masyarakat lokal dan pengakuan pada komunitas adat. “Polisi juga sebaiknya mempertimbangkan keadilan sejarah,” ucapnya.

Penanganan selama ini, kata Maneger, mengakibatkan warga akan merasa terus tertekan, menyimpan dendam, dan menjadi potensi konflik yang besar.

Maneger mencontohkan kehidupan warga adat Dayak Modang di Desa Long Bentuq di Kutai Timur. Potensi konflik seperti tinggal menanti pecah saja. Desa ini jaraknya lebih dari 350 kilometer dari Balikpapan. Warga setempat kecewa atas dugaan penyerobotan tanah adat oleh dua perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT SAWA (Subur Abadi Wana Agung) dan PT HPM (Hamparan Perkasa Mandiri).

“Long Bentuq contoh adanya potensi konflik besar. Kami bertemu dengan orang-orang yang sudah sepuh di sana. Mereka mengatakan, dulu kita ini akur-akur, kita kasih mereka tanah adat, tapi sekarang tidak tahu siapa duluan siapa belakangan,” kata Maneger.

Ragam kekecewaan mereka mulai dari dugaan merambah sedikitnya 4.000 hektar (ha) dari 40.000 ha hutan warga yang juga tanah ulayat. Hutan memiliki ragam pohon besar seperti ulin, benggeris, hingga meranti, juga pohon-pohon buah dan binatang buruan. Warga kecewa atas perambahan itu.

Keberadaan dua perusahaan yang beroperasi sejak 2006 ini juga matikan anak-anak sungai. Bahkan sei Kelenjau, sungai utama yang dipakai untuk kehidupan sehari-hari warga, menjadi coklat dan kotor.

Warga tak puas pada sikap pemerintah yang terkesan membela perusahaan. Warga juga kesal berkali-kali diping-pong dari Polres Kutim ke Polda Kaltim, kembali ke Kutim. “Potensi konfliknya sudah sangat kelihatan, bila ada pertemuan kelihatan sekali pro dan kontranya,” kata Maneger.

Desa Long Bentuq sendiri memiliki luas 3.722 Km persegi. Warga Long Bentuq terdiri dari 240 KK atau lebih dari 1.000 orang mengandalkan hidup dari hasil hutan dan sungai tempat mereka tinggal. Sungai utama mereka dinamai Sungai Kelenjau yang akhirnya bermuara ke Sungai Mahakam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com