Dalam tiga tahun terakhir, ada tiga insiden kecelakaan pesawat besar, yakni Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak Bogor pada Mei 2012 silam, Air Asia QZ8501 di Selat Karimata Kalimantan pada Desember 2014, dan Hercules C-130 di Medan pada Juli 2015.
Salah satu tantangan utama dalam mengungkap identitas korban adalah kondisi jenazah yang hancur dan terbakar. Kondisi ini dinilai Anton cukup sulit untuk mengidentifikasi korban.
"Makanya, waktu Sukhoi itu kita bergantung pada pemeriksaan DNA," ungkap Anton.
Identifikasi kecelakaan yang menewaskan semua penumpang dan kru pesawat itu selesai dalam waktu delapan hari. Sebanyak 200 ahli identifikasi terlibat dalam hal ini. Waktu tersebut tergolong cepat karena data-data penumpang jelas dan tepat.
Tantangan yang berbeda dihadapi tim DVI terkait kasus Air Asia QZ8501 pada Desember 2014. Tantangannya pada kondisi jenazah yang rusak akibat tenggelam.
"Itu jatuh di laut, proses pembusukan di air dan sebagainya. Ini merupakan kesulitan yang berbeda," jelas Anton.
Proses identifikasi kecelakaan Air Asia ini memerlukan waktu dua bulan. Sekitar 400 ahli terlibat dilibatkan. Proses identifikasi juga terbilang lama karena proses pengambilan korban yang tergolong sulit.
Sedangkan pada kasus Hercules C-130, tim DVI melihat ini sebagai kasus yang relatif mudah. Namun, tim terganjal pada data pembanding. "Kondisi jenazah relatif lebih mudah. Karena tidak semua terbakar," kata Anton.
Selain itu, tempat kejadian perkara terlokalisasi di suatu tempat. Terkait hal ini, tim mengerahkan 100 ahli identifikasi.
Saat ini proses identifikasi korban Hercules terus berlanjut. Korban yang teridentifikasi yakni sebanyak 114 orang hingga Jumat (3/7/2015) pukul 18.00 WIB.