Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada Kembali ke Parlemen, Korupsi Merajalela

Kompas.com - 09/09/2014, 15:08 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis


UNGARAN, KOMPAS.com — Apa kata orang nomor satu di Kabupaten Semarang tentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang di dalamnya terdapat mekanisme pemilihan kepala daerah yang sebentar lagi akan disahkan?

Bupati Semarang Mundjirin sependapat jika pemilihan seorang kepala daerah harus langsung dipilih oleh rakyat dan bukan dari parlemen. Dia juga menilai, jika pemilihan melalui mekanisme di parlemen maka hal ini merupakan cermin kemunduran demokrasi.

"Yang demokratis sajalah," kata Mundjirin, Selasa (9/9/2014).

Bupati usungan PDI-P yang sebentar lagi akan maju pada Pilkada 2015 ini mengatakan, selain sebagai langkah mundur dalam berdemokrasi, dia melihat pemilihan kepala daerah oleh parlemen akan menumbuhsuburkan praktik korupsi. Sebab, politik transaksional pasti akan terjadi antara calon kepala daerah dengan partai atau legislator.

"Masyarakat tidak bisa bebas, umum, dan langsung memilih pemimpinnya. Legislatif heavy, tidak ekulibrium lagi. Korupsi bisa merajalela lagi, reformasi terkebiri. Ini semua langkah mundur," kata dia.

Hal senada diungkap Ketua DPRD Kabupaten Semarang Bambang Kusriyanto. Menurut dia, sebaiknya pilkada oleh dewan dikaji lebih mendalam. "Jangan terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan suatu aturan. Karena pada dasarnya, hal ini jelas tidak sejalan dengan konstitusi," ungkapnya.

Konstitusi, kata Ketua DPC PDI-P Kabupaten Semarang ini, menjelaskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah republik dengan sistem pemerintahan presidensial. "Jadi semestinya sistem pemilihan kepala daerah dan presiden harus selaras. Presiden dan kepala daerah dipilih lewat pemilu langsung. Sebab, otonomi daerah memberi kewenangan yang luas kepada kepala daerah untuk memerintah wilayahnya. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD hanya berlaku di negara dengan sistem pemerintahan parlementer, bukan presidensial," kata Bambang.  

Bambang mengatakan, jika permasalahan ini dipicu dengan alasan pembiayaan yang besar pada pemilu langsung, sebenarnya hal ini bisa diatur oleh pihak yang berkompeten, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Artinya, bisa dibuatkan aturan main yang jelas terkait jumlah baliho, atribut, dan lainnya. Di samping itu, bisa juga menerapkan penghapusan kampanye yang dinilai membutuhkan anggaran yang besar. "Bisa Juga perlu dibuatkan aturan tegas terkait penggunaan fasilitas publik milik pemda, seperti reklame, pengaturan cuti kampanye, sehingga incumbent tidak bisa menggunakan APBD. Intinya, saya tidak setuju jika kepala daerah dipilih oleh parlemen," tegas Bambang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com