Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau Dolly Ditutup, Keluarga Saya Mau Dikasih Makan Apa?" (3)

Kompas.com - 30/04/2014, 11:48 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com — Lokasi prostitusi Gang Dolly akan ditutup 19 Juni mendatang. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, Pemkot sudah menyiapkan langkah-langkah untuk membantu para mucikari dan PSK di lokalisasi tersebut membuka usaha setelah penutupan. Pemkot menyiapkan Rp 5 juta untuk masing-masing mucikari dan Rp 4-7 juta untuk masing-masing PSK.

Oleh karena itu, warga di sekitar Dolly menolak. Mereka melakukan perlawanan terhadap rencana tersebut (Baca juga: Sirene Perlawanan dari Gang Dolly (1). Berikut hasil penelusuran Surya selanjutnya menjelang penutupan Gang Dolly.

Dalam satu bulan terakhir, aktivitas warga yang mendukung penutupan dan menolak penutupan Dolly sama-sama bergerak. Mereka intens menggelar pertemuan, terutama warga yang menolak penutupan. Berbagai paguyuban mereka bentuk.

Kelompok yang menolak penutupan berdalih, penutupan lokasi prostitusi mengancam kelangsungan ekonomi mereka. Berbagai usaha akan mati, mulai dari usaha parkir, pedagang kaki lima (PKL), pedagang keliling, tukang becak, rumah kos, toko pracangan, salon, sampai pasar tradisional di sekitar Dolly-Jarak.

Iwan, warga Dolly yang mengelola bisnis parkir sejak 1980-an, mengaku, bisnisnya bakal gulung tikar kalau Dolly ditutup. Padahal, di Dolly dan Jarak, sedikitnya ada 80 pemilik lahan parkir dengan jumlah juru parkir ratusan orang.

"Hidup mati kita dari sini," kata Iwan.

Rata-rata, pemilik lahan parkir di kawasan itu bisa mengantongi Rp 200.000 per hari. Mereka memungut tarif Rp 5.000 untuk sepeda motor dan Rp 10.000 untuk mobil. Khusus mobil, tarif yang berlaku dihitung tiap satu jam.

Kekhawatiran lebih dalam diungkapkan PSK yang harus meninggalkan kompleks prostitusi yang sudah berdiri sejak 1966 itu.

"Saya nanggung hidup ayah, ibu, satu anak, dan dua saudara. Kalau di sini ditutup, mau dengan cara apa saya kasih makan mereka?" kata Tia, seorang penghuni wisma di Dolly.

Perempuan 32 tahun asal Ponorogo itu mengatakan, setiap bulan ia memberikan Rp 3 juta-Rp 4 juta kepada keluarganya. Tia sendiri mengaku penghasilannya terus menurun dalam dua bulan terakhir lantaran isu penutupan yang semakin gencar.

Sebelum isu penutupan merebak, dia bisa mengantongi Rp 15 juta-Rp 20 juta per bulan. Dalam satu malam, dia bisa melayani lebih dari 10 tamu.

Akan tetapi, saat ini, penghasilan Tia menurun drastis. Dia mengaku "hanya" mengantongi Rp 6 juta-Rp 7 juta per bulan.

"Satu hari cuma dapat 3-4 tamu. Jadi, tidak blong saja sudah lumayan," katanya.

Front Pekerja Lokalisasi (FPL) yang mewadahi kawasan Jarak juga menyuarakan perlawanan. Menurut Teguh, dari FPL, penutupan yang dicanangkan pemerintah kota hanya akan melahirkan masalah baru.

Terlebih lagi, selama ini tidak sekali pun Tri Rismaharini (Risma) datang ke Dolly dan Jarak untuk menjelaskan rencananya.

Teguh yang merupakan Ketua RT I/RW XI itu mengatakan, roda perekonomian di kawasan itu ditopang sepenuhnya oleh kegiatan prostitusi. Jadi, kata Teguh, begitu wisma ditutup, roda perekonomian akan hancur.

Mereka, antara lain, PKL, tukang laundry, toko kelontong, salon, tukang pijat, hingga pedagang pasar tradisional sekitar lokasi prostitusi.

Hal yang sama disampaikan Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Lokalisasi Surabaya (FKMLS) Syafiq Mudhakir (49). Baginya, Dolly bukan sekadar bisnis "esek-esek", melainkan juga sebagai penggerak perekonomian ribuan orang.

Apabila Dolly ditutup, akan muncul kemiskinan baru seperti yang terjadi di kawasan Tambaksari dan Bangunsari yang telah lebih dulu dinyatakan tertutup untuk lokasi prostitusi. (ben/idl)


Baca juga: Warga yang Dukung Penutupan Dolly Memilih Diam (4)

Simak juga Topik Khusus: Gang Dolly Akan Ditutup

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com