Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendik Akan Digantung di Malaysia, Keluarga Harap Bantuan

Kompas.com - 10/04/2014, 10:09 WIB
BLITAR, KOMPAS.com -- Sadiq terlihat beberapa kali menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit rumah ketika sedang berbicara. Rupanya, gerakan itu dilakukannya untuk menahan agar air mata tak jatuh menetes.

Sadiq adalah ayah dari Effendi, TKI asal Desa Sidorejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Effendi yang kini berusia 27 tahun menunggu eksekusi mati, setelah pengadilan Malaysia menjatuhkan vonisnya pada tahun 2010 lalu.

Effendi ditangkap bersama warga Thailand pada 16 Januari 2007 dalam kasus kepemilikan ganja.

"Kami sangat berharap pada pemerintah, Pak Presiden, dan siapa saja. Tolonglah Pendik (panggilan Effendi)," tutur Sadiq saat ditemui di kediamannya di Blitar.

Kematian istri membuat Sadiq semakin nelangsa. Ia semakin tidak yakin bisa bertemu Effendi, kecuali sang anak itu pulang kampung. Sadiq mengaku sudah tidak punya apa-apa yang bisa dijual untuk ongkos menjenguk anaknya.

Pada Januari 2013, Sadiq memiliki kesempatan untuk bertemu Effendi. Dia dan Nur Santoso, anak bungsunya, diberangkatkan ke Malaysia oleh Migrant Care. Namun karena sakit, perjalanan Sadiq terhenti hanya sampai di Jakarta. Hanya Nur Santoso yang bisa melanjutkan perjalanan ke Malaysia.

"Bapak sakit sampai di rumah sakit di Jakarta. Teman-teman dari Migrant Care yang ngurusi bapak di rumah sakit. Saya berangkat sendiri dan alhamdulillah bertemu Mas Pendik," kata Nur Santoso.

Pertemuan itu sedikit mengobati perasaan Nur Santoso. Sudah hampir enam tahun dia tidak bertemu dengan kakaknya. Apalagi pertemuan itu merupakan pertemuan pertama sejak Effendi berada di dalam penjara.

Nur Santoso mengatakan, saat itu kakaknya enggan bercerita banyak perihal kasus yang membelitnya. Dia hanya mengatakan ingin sekali kembali berkumpul dengan keluarga. Dia mengkhawatirkan kesehatan orangtuanya.

Effendi berangkat ke Malaysia menggenggam semangat membantu ekonomi orangtuanya yang pas-pasan. Dia mengaku tak ingin adik-adiknya putus sekolah seperti dirinya.

Pada 2002 Effendi terpaksa berjualan buah ketimbang menganggur karena karena tak bisa melanjutkan ke SMA. Dia tidak ingin adik-adiknya bernasib seperti dirinya. 

Dia lantas merantau ke Banyuwangi untuk memasarkan nanas milik kerabat. Namun, Effendi merasa usahanya tak cukup membantu keluarga. Ia kemudian mengundi nasib di Kalimantan. Ketika berangkat ke Borneo, usia Effendi masih 22 tahun.

"Tak lama di sana, tiba-tiba kakak telepon. Dia (Effendi) bilang bekerja di Malaysia, tepatnya di Keddah," kata Nur Santoso.

Keluarga tidak setuju Effendi bekerja di Malaysia, tetapi ia telanjur menyeberang. Tidak mungkin diminta balik dalam hitungan hari. Butuh waktu panjang untuk mengumpulkan ongkos, apalagi kalau mengumpulkan modal buat usaha di kampung halaman.

"Sekarang keluarga berharap proses banding berhasil. Kami masih yakini itu. Kakak saya tidak bersalah," imbuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com