Meski dicemooh kurang waras, Ramianto Situl (39) dan keluarga bersikeras merawat hutan anggrek di Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Tak ada keuntungan dia peroleh, hanya keinginan melestarikan anggrek hitam atau ”Coelogyne pandurata” yang menjadi motivasinya.
Sebelum dirawat, hanya sedikit anggrek di hutan yang tumbuh alami di areal seluas sekitar 10 hektar itu. Yunitha lalu membayar orang untuk membersihkan lahan karena hutan itu lebat. Pembersihan lahan diperlukan demi membuat jalan setapak untuk memudahkan merawat anggrek di hutan.
Ketika itu penghasilan Yunitha tak seberapa. Ia bekerja sebagai guru Sekolah Dasar Negeri 1 Murutuwu dengan tanggungan 10 anak.
Seiring perhatian sang ibu pada anggrek, sejak masih kecil, Rami, panggilan Ramianto, dan saudara- saudaranya pun terbiasa masuk-keluar hutan membantu sang bunda. Mereka bertugas memindahkan bagian anggrek agar lekas berbiak.
”Hujan atau panas, kami tetap menyetek anggrek. Sampai kami dibilang orang gila karena mau merawat anggrek seperti itu,” kata Rami mengenang.
Hasil kerja keras mereka telah membuat hutan itu rimbun dengan tanaman anggrek. Di sisi lain, risiko terluka karena hewan buas, seperti beruang madu, ular, landak, dan babi hutan, tetap mengintai keselamatan mereka.
Kini, Rami dan empat saudaranya yang tinggal di Murutuwu-lah yang aktif merawat hutan. Meski demikian, saudaranya yang berada di luar Kalimantan Tengah (Kalteng) pun tetap memberikan perhatian pada anggrek di hutan tersebut.
Ketika hutan mulai ramai dikunjungi dan mendapat perhatian publik, warga di sekitar areal ini justru beramai-ramai mengklaim lahan tersebut sebagai milik mereka. Ini terjadi pada 2008.