KOMPAS.com - Peh Cun adalah tradisi masyarakat Tionghoa untuk menghormati meninggalnya seorang pejabat pada zaman Dinasti Chu (340 SM) yang sangat dicintai rakyat bernama Qu Yuan.
Perayaan Peh Cun ini dilaksanakan setiap tanggal 5 bulan 5 dalam penanggalan China.
Baca juga: 8 Pesona Desa Wisata Tari Rebo Bangka Belitung, Ada Festival Peh Cun
Sebagai sebuah tradisi penting yang terkait dengan sejarah dan kebudayaan Tionghoa, perayaan Peh Cun juga rutin dilaksanakan setiap tahun di berbagai daerah di Indonesia.
Tradisi Peh Cun di Indonesia tidak jarang diisi oleh berbagai ritual dan tradisi unik, bahkan dijadikan sebuah perayaan atau festival.
Rangkaian tradisi Peh Cun di beberapa daerah bahkan sudah sangat terkenal serta menjadi daya tarik wisata tersendiri.
Baca juga: Serunya Menonton Festival Peh Cun di Sungai Cisadane Tangerang
Sebutan tradisi Peh Cun berasal dari dua kata yaitu “peh” yang artinya dayung atau mendayung dan “cun” yang artinya perahu.
Hal ini terkait dengan sejarah tentang Qu Yuan yang dikenal sebagai sosok menteri yang jujur dan setia.
Baca juga: Serunya Menonton Festival Peh Cun di Sungai Cisadane Tangerang
Dilansir dari laman Kemenparekraf, Qu Yuan yang berbakat dan banyak memberikan ide untuk memajukan negara ternyata dikritik oleh keluarga raja.
Mereka tidak senang dengan sosok Qu Yuan yang kemudian berakhir pengusirannya dari negara Chu.
Kesedihan Qu Yuan dan kecemasan atas kondisi negaranya membuatnya memilih jalan pintas dengan menenggelamkan diri ke Sungai Miluo.
Rakyat yang merasa sedih kemudian berusaha mencari jenazah sang Qu Yuan di sungai tersebut.
Mereka melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang yang ada di sungai tidak mengganggu jenazah Qu Yuan.
Selain itu, untuk menghindar dari naga yang ada di dalam sungai maka mereka membungkusnya makanan tersebut dengan daun-daunan.
Hal ini merupakan asal-usul adanya bakcang yang sekarang identik dengan tradisi Peh Cun.
Selain itu, usaha para nelayan yang mencari jenazah sang menteri dengan perahu akhirnya menjadi awal dari perlombaan mendayung perahu naga yang digelar saat tradisi tersebut berlangsung.
Selain hidangan berupa bakcang dan atraksi lomba perahu naga, tradisi Peh Cun juga identik dengan ritual mendirikan telur di siang hari.
Kegiatan ini dilakukan pada saat matahari berada di atas kepala, di mana orang-orang terlihat berusaha membuat telur ayam mentah berdiri tegak di atas bidang datar.
Meski terlihat sulit untuk dilakukan, beberapa orang yang mencoba ternyata bisa membuat telur benar-benar berdiri tegak tanpa dipegang.
Dilansir dari laman Setda Kota Tangerang, menurut kepercayaan Tionghoa, hari tersebut adalah hari Twan Yang dimana posisi matahari dan gravitasi bisa mendirikan telur.
Hal ini yang menjadi alasan telur bisa berdiri tegak yaitu karena adanya gaya tarik-menarik antara matahari dan bumi sehingga telur bisa berdiri pada bagian ujungnya.
Sementara fenomena ini terjadi karena saat siang hari, di mana matahari memancarkan cahaya paling kuat dengan gaya gravitasi yang mampu membuat bisa sampai telur berdiri.
Dilansir dari bangka.tribunnews.com, Henry yang merupakan tokoh Tionghoa Pangkalpinang yang juga pengurus Kelenteng Kwan Tie Miau menjelaskan jika leluhur dari Tiongkok terdahulu menentukan perhitungan bulan dan tanggal Imlek adalah berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi.
"Pada umumnya, tanggal 1 Imlek bulannya tidak nampak dan pada tanggal 15 Imlek itu bulannya bulat. Itulah penghitungan bulan mengitari bumi. Jadi leluhur dari Tiongkok dulu itu sudah bisa menghitung sedemikian rupa. Tepat pada tanggal 5 bulan 5 Imlek itu yang terjadi adalah bulan itu mendekat bumi dengan posisi paling dekat," tuturnya.
Lebih lanjut, Henry menyebut bahwa telur ayam mentah yang biasanya tidak mungkin bisa berdiri itu hanya bisa berdiri hanya pada jam sesuai dengan perhitungan Imlek, yaitu dari jam 11.00 hingga 13.00.
Lebih lanjut, Henry mengatakan bahwa ritual mendirikan telur dalam memperingati Duan Wu Jie (Peh Cun) adalah sebagai tradisi yang bermakna agar umat menghargai perjuangan yang telah dilakukan para leluhur, dengan menjaga alam dan tunduk pada ketentuan yang maha kuasa, serta takwa kepada Tuhan.
Beberapa daerah di Indonesia rutin menggelar tradisi Peh Cun setiap tahun. Berikut adalah beberapa di antaranya.
Dilansir dari laman Kemdikbud, tradisi Peh Cun di Sungai Cisadane, Kali Pasir, Tangerang adalah salah satu perayaan yang tertua di Indonesia dan telah menjadi salah satu ikon kota ini.
Perayaan ini dihiasi dengan adanya lomba perahu naga, lomba menangkap bebek, ritual mendirikan telur, serta hidangan khas berupa kue bacang.
Salah satu bukti mengenai sejarah tradisi Peh Cun ini terdapat dalam cerita sejarah mengenai perahu naga Empeh Pe Cun yang disumbang oleh Kapitan Oey Khe Tay kepada Kelenteng Boen Tek Bio pada abad ke-19.
Sayangnya di tahun 1911, perahu yang ikut dalam lomba perahu Peh Cun tersebut mengalami kecelakaan sehingga patah dua. Walau begitu, perahu itu tetap melanjutkan perlombaan dan menjadi juara.
Hingga saat ini sisa-sisa perahu tersebut masih ada dan disimpan oleh keturunan pemimpin Kelenteng Boen Tek Bio
Perayaan Peh Cun juga dilakukan dengan meriah di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung.
Dilansir dari laman Dinas Pariwisata Kota Pangkalpinang, tradisi Peh Cun ini biasa dipusatkan di Pantai Pasir Padi yang berjarak enam kilometer dari pusat kota atau 20 menit dari Bandara Depati Amir.
Prosesi dimulai dengan sembahyang, kemudian dilanjutkan beramai-ramai membuang kue chang (bacang) yang terbuat dari ketan dan diisi dengan daging atau udang ke laut sebagai simbol penghormatan.
Kemudian tepat pada tengah hari, masyarakat dapat mengamati keunikan di mana telur mentah yang masih segar dapat berdiri tegak dan air laut mengalami puncak pasang surut.
Perayaan Peh Cun juga menjadi salah satu bentuk tradisi dan budaya Tionghoa yang masih dilestarikan di Yogyakarta.
Kegiatan yang dilaksanakan di kawasan Pantai Parangtritis, Bantul, D.I Yogyakarta ini juga menjadi daya tarik tersendiri.
Hal ini karena selain melakukan doa bersama, banyak atraksi menarik yang dihelat, seperti kesenian barongsai, pertunjukan tari, lomba perahu naga, hingga pembakaran liong dan pelarungan.
Masyarakat juga dapat mencoba mendirikan telur seperti yang banyak dilakukan di siang hari saat perayaan Peh Cun digelar.
Sumber:
jadesta.kemenparekraf.go.id
setda.tangerangkota.go.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id
wonderful.pangkalpinangkota.go.id
bantulkab.go.id
parangtritis.bantulkab.go.id
bangka.tribunnews.com
/travel.kompas.com