John John Yosen Reba, 44 tahun, sudah hampir dua bulan menginap di tempat temannya di Jakarta untuk mengurus ratusan mahasiswa Papua yang punya tunggakan biaya kuliah.
"Saya tidak akan pulang, sampai ini semua selesai setidaknya ada kepastian anggaran sampai Desember nanti," kata John selaku Ketua Forum Komunikasi Orangtua Mahasiswa Penerima Beasiswa Otsus Papua (FKOM-BOP).
Kepada BBC News Indonesia, warga Jayapura ini menunjukkan dokumen-dokumen pertemuan perwakilan orang tua dengan pejabat daerah, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, staf ahli presiden, pejabat di kementerian keuangan sampai kementerian dalam negeri.
Hasilnya, janji dan kesepakatan-kesepakatan.
John juga menunjukkan dokumen aksi demonstrasi orang tua, dan ribuan data penerima beasiswa yang ia sebut "harus diselesaikan". Semuanya mereka lakukan sejak awal 2023.
Baca juga: Terkait Kasus Lukas Enembe, KPK Usut Pembahasan APBD hingga Dana Otsus Papua
Dalam beberapa hari terakhir ini, John juga mendatangi sekitar tujuh kampus di Jabodetabek. Ia melobi agar kampus memberikan dispensasi agar mahasiswa Papua penerima beasiswa tetap bisa "mengikuti proses akademik, mereka tidak kehilangan status dan hak mereka sebagai mahasiswa".
"Jumlah sudah total 300 mahasiswa [di Jabodetabek]. Tapi ada beberapa kampus yang belum kami kunjungi terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan juga di Yogyakarta," kata John yang juga punya dua anak berstatus penerima beasiswa Siswa Unggul Papua.
Dari Kota Jayapura, Papua, wartawan Musa Abubar melaporkan kepada BBC News Indonesia bahwa sebagian orang tua harus bolak-balik ke kantor Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM)—badan yang mengurus beasiswa, termasuk pendataan dan pencarian dana.
Para orang tua ini ingin memastikan adanya jaminan dari pemerintah setempat mengenai kelanjutan kuliah anak mereka.
"Kami orang tua masih tetap datang BPSDM Papua untuk mengecek sampai sejauh mana pembayarannya," kata R Tandia Ayomi, yang anaknya sedang proses studi di Kampus Atmajaya, Jakarta.
Baca juga: Akomodir Mahasiswa Papua, Pemprov Jatim Siapkan Lahan untuk Asrama
Saat ini anak dari Tandia sudah masuk semester tujuh. Tapi, uang kuliah semester lima dan enam belum dibayar.
"Ini membuat kita orang tua sangat kuatir dengan anak-anak kita, karena banyak anak-anak yang bertanya kepada orang tua kapan pembayaran SPP," katanya.
Delila Wasti orang tua lainnya, mengaku harus cari pinjaman ke sana-sini untuk menutupi biaya kuliah anaknya yang sedang mengejar sarjana di Universitas Trisakti, Jakarta.
"Semester 6 belum dibayarkan terpaksa orang tua harus pinjam uang dengan janji bunga di atas bunga," kata Delila.
Ia masih ingat betul bagaimana janji pemerintah terkait beasiswa penuh buat anaknya.
"Waktu awal itu pemerintah janji kalian siapkan otak kalian, tidak usah pikir masalah uang makan, tempat tinggal, yang penting itu siap otak," katanya.
Baca juga: Asrama Mahasiswa Papua di Makassar Diserang dengan Anak Panah, Pelaku Diduga Anggota Ormas
Tapi kini, Delila harus memutar otak sendiri untuk menutupi biaya kuliah dan biaya hidup anaknya, termasuk berjualan kue.
"Kadang saya kirim Rp100 ribu untuk dia pakai dalam jangka waktu 4-5 hari," ujarnya.
Ditambah lagi kebijakan pemekaran daerah pada 2022, yang saat ini total menjadi enam provinsi.
Konsekuensi dari pemekaran daerah adalah menyusutnya anggaran Otsus di Provinsi Papua yang semula membiayai mahasiswa hampir di seluruh wilayah Papua.
DPRD Papua dan Pemprov Papua tidak menggelontorkan beasiswa Siswa Unggul Papua dalam APBD 2022 dan 2023.
Dalam keterangan sebelumnya kepada kantor berita Antara, Kepala BPSDM Papua, Aryoko Rumaporen, mengatakan per 1 Januari 2023 pendanaan beasiswa dan pengelolaannya dikembalikan ke kabupaten dan kota.
Baca juga: Soal Kerusuhan di Wamena, Front Mahasiswa Papua Kecewa Tak Bisa Temui Ketua Komnas HAM
Menurut Ketua FKOM-BOP, John John Yosen Reba, proses transisi ke Otonomi Khusus Jilid 2 ini tidak berjalan mulus. Musababnya, kebijakan dana otsus yang didistribusikan ke kabupaten dan kota berpengaruh terhadap pendanaan program beasiswa Siswa Unggul Papua yang sedang berjalan.
Kedua, kata dia, saat BPSDM menyerahkan pengelolaannya ke kabupaten dan kota, data mahasiswa penerima beasiswa ia sebut "masih banyak ketidaksesuaian".
Oleh karena itu, orang tua mahasiswa terus mendesak agar pemprov Papua tidak lepas tangan begitu saja, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk melakukan intervensi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa pejabat BPSDM Papua terkait pembayaran tunggakan dana beasiswa sebesar Rp122 miliar pada 2022. Dana ini diambil dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Otsus, termasuk dari sejumlah kabupaten dan kota.
Sebagian dana tersebut belum dicairkan karena BPSDM Papua masih melakukan validasi data penerima beasiswa pada tahun 2023.
Ketua FKOM-BOP, John John Yosen Reba juga ikut diperiksa KPK sebagai saksi. John mengaku memberikan KPK data temuan "ketidaksesuaian data" yang dilakukan forum orang tua dan mahasiswa Papua. BBC News Indonesia juga melihat data tersebut.
Baca juga: Internet di Wamena Mati Pasca Kerusuhan, Mahasiswa Papua Resah Kabar Keluarga
Hasil temuannya terdapat data penerima beasiswa yang tidak sesuai domisili, ketidaksesuaian nama kampus, mahasiswa yang kuliah di luar negeri tapi tercatat di dalam negeri-juga sebaliknya, sampai mahasiswa sudah wisuda tapi masih tercatat.
"Yang dominan itu ketidaksesuaian nomor rekening mahasiswa. Jadi, saya berikan contoh dari 610 itu data awal yang terkumpul periode bulan Mei - Juni.
Dari 610 mahasiswa yang memberikan informasi, ternyata ada 399 mahasiswa yang nomor rekeningnya tidak sesuai. Jadi sudah lebih dari 50%," kata John.
BBC News Indonesia telah berupaya memberi kesempatan pernyataan Kepala BPSDM Papua, Aryoko Rumaropen, dan Pelaksana Harian (Plh) Gubernur Papua, Muhammad Ridwan ,terkait hal ini. Namun, sampai berita ini ditulis, belum ada respons.
"Tak perlu lagi sampaikan masalah ini ke Presiden, ini masalah kecil yang kita bisa selesaikan," kata Wakil Menteri Dalam Negeri, John Wempi Wetipo beberapa waktu lalu.
Bagaimana pun sampai sekarang, persoalan ini masih belum jelas.
Staf Khusus Presiden Bidang Pendidikan dan Inovasi, Billy Mambrasar, mengatakan sudah mendorong agar kementerian terkait membuat payung hukum menyelesaikan persoalan ini.
Payung hukum ini nantinya memberi kewenangan Pemprov Papua menarik dana otsus dari kabupaten dan kota.
"Karena mereka yang sudah berjalan itu masuk di Provinsi Papua, jadi dapat memberikan justifikasi kepada Pemprov Papua untuk menarik anggaran dari kabupaten kota agar mereka distribusikan beasiswa untuk anak-anak ini," kata Billy kepada BBC News Indonesia.
Selain itu, pihaknya juga bekerjasama dengan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP). Badan baru ini sedang bertugas melakukan mediasi antar kementerian dan lembaga terkait.
"Terus memfasilitasi pemda untuk bisa mengakses informasi yang tepat di pusat," kata Billy.
Ia juga menyadari UU Otsus yang baru, dan kebijakan pemekaran daerah ikut berkontribusi dalam sengkarut beasiswa anak Papua.
"Memang kemarin timeline-nya begitu sempit, sehingga tidak ada perencanaan yang step by step. Akibatnya banyak tumpang tindih seperti ini. Menurut saya ini harus dibereskan. Dengan pendataan, kemudian re-evaluasi."
Kembali lagi ke Salt Lake City, Amerika Serikat, tempat Calvin sedang menimba ilmu, jauh dari keluarga dan tanah kelahirannya di Papua.
Saat ini yang ia butuhkan adalah dukungan dan kepastian dari pemerintah menjamin studinya selesai sampai topi wisuda melingkar di kepala.
"Jangan terlalu banyak berdebat. Tapi lakukan aksi…. Saya mau melayani di Papua. Saya punya impian untuk mengajar. Pasti saya akan kembali," kata Calvin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.