KOMPAS.com - Chatra (payung bertingkat tiga) diusulkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk dipasang sebagai upaya penyempurnaan Candi Borobudur.
Chatra Candi Borobudur ditemukan saat proses pemugaran yang dipimpin Van Erp tahun 1907-1911. Chatra diduga pernah terpasang megah di puncak stupa utama Candi Borobudur.
Usulan ini untuk mengoptimalkan Candi Borobudur sebagai bagian dari lima destinasi pariwisata super prioritas (DPSP) melalui pengembangan Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia.
Baca juga: Tour de Borobudur XXIII Digelar, Ganjar: Rutenya Baru, Spot Indah
Hal ini disetujui Menko Maritim dan Investasi Luhut B Panjaitan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Usulan ini dibahas bersama dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan lima DPSP di hotel Plataran Borobudur, 21 Juli 2023.
Kepala Sangha Theravadha Indonesia Bante Sri Pannyavaro juga setuju dengan rencana itu. Menurutnya, memasang Chatra di puncak stupa utama Candi Borobudur merupakan penyempurnaan akan keagungan Candi Borobudur.
Baca juga: Dari Rupiah Borobudur Playon, Ada Donasi Rp 149 Juta ke 10 Desa dan 2 Yayasan di Borobudur
Hal senada disampaikan Anu Mahanayaka Sangha Agung Indonesia, Biksu Bhadra Ruci.
Tokoh agama Buddha ini menegaskan, Candi Borobudur sebagai sebuah mandala tak akan terpisahkan dari elemen chatra atau payung mulia.
Dari aspek tantra, chatra akan selalu ditemukan dalam praktik harian persembahan mandala seorang praktisi buddhis, dan dalam praktik meditasi mandala tantra maka ornamen chatra pun selalu hadir dalam visualisasi.
Keberadaannya pun tidak sekadar hiasan, namun mengandung makna dan fungsi spiritualitas tertentu, sebagaimana dinyatakan di dalam Arya Manggala Kuta Nama Mahayana Sutra: "...Karena kepala Buddha adalah payung pelindung yang jaya,” maka ketiadaan chatra akan ibarat tubuh tak berkepala.
Namun, usulan ini ditolak para Arkeolog. Mereka menganggap pemasangan Chatra tidak memenuhi kriteria rekonstruksi arkeologi, karena persentase kombinasi antara batu asli dengan batu yang baru. Chatra itu pun akhirnya dilepas kembali.
“Sebagai bangunan bersejarah tentunya Candi Borobudur tidak hanya dimaknai dari sisi disiplin arkeologi semata, namun akan lebih sempurna jika candi Borobudur sebagai situs peninggalan keagamaan juga dimaknai dari disiplin ilmu keagamaan yakni filosofi agama (Buddha) yang menjadi fondasi pada masa pembangunan Candi Borobudur,” ungkap Dirjen Bimas Buddha Supriyadi di Jakarta, Sabtu (29/7/2023).
Menurut Supriyadi, Agama Buddha memandang Chatra atau payung dalam perspektif filosofi spiritualitas yang sangat mendalam.
Di dalam Kitab Lalitawistara Sutra dapat ditemukan pengunaan kata payung berkali-kali. Kitab Lalitawistara ini juga terukir dalam 120 keping relief di badan Candi Borobudur.
Sutra ini, menceritakan riwayat Buddha mulai dari sebelum lahir hingga mencapai Penerangan Sempurna dan memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya.