KOMPAS.com - Rumoh Geudong di Pidie, Aceh, yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lalu kini sudah diratakan.
Tempat terjadinya penyiksaan selama berlakunya Daerah Operasi Militer di Aceh, mulai 1989 sampai 1998, diratakan menjelang kedatangan Presiden Joko Widodo untuk kick-off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di lokasi tersebut.
“Kick-off melupakan kekerasan HAM masa lalu, dari 12 Provinsi di Indonesia terpilihlah Aceh dengan empat kabupaten dan terpilih di Pidie,” kata Penjabat Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto, di Pidie, Kamis (23/6/2023), seperti dilansir Antara.
Baca juga: Pelanggaran HAM Rumoh Geudong, Tak Ada Alasan Kejaksaan Agung untuk Diam
Sebagai informasi, Jokowi dijadwalkan datang ke Aceh pada Selasa (27/6/2023) untuk mengumumkan kick-off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara nonyudisial.
Lokasi yang akan dikunjungi adalah Rumoh Geudong. Salah satu lokasi pelanggaran HAM yang telah diakui negara beberapa waktu lalu.
Saat ini semua bangunan sisa peninggalan masa konflik telah diratakan hanya tersisa fondasi tangga semen sebanyak lima anak tangga serta batu besar di sampingnya.
Sisa bekas kamar mandi yakni sumur cincin dan WC yang telah ditutupi dengan batu-batu.
Baca juga: Terduga Pelaku Pelanggaran HAM Masa Lalu Tak Dicari Dinilai Langgengkan Impunitas
Semua bangunan serta pohon besar di dalam pekarangan Rumoh Geudong telah diratakan.
Wahyudi mengatakan, agenda Presiden Jokowi ke Rumoh Geudong untuk penarikan selubung putih tangga Rumoh Geudong.
“Ditarik untuk dihancurkan, jadi itu dilupakan semuanya, karena merupakan kenangan buruk yang tidak boleh diingat,” ujarnya.
Wahyudi berharap generasi baru di Pidie atau Aceh secara umumnya harus terus bangkit, dan tidak boleh meninggalkan dendam terhadap luka lama tersebut.
Baca juga: Pemerintah Akan Mulai Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada Akhir Juni 2023
Ia juga menegaskan, di lokasi tempat penyiksaan serta pembantaian masa lalu tersebut nantinya tidak akan dibangun monumen, tetapi tempat ibadah.
“Kita menolak bangunan monumen, tetapi akan membangun masjid besar agar masyarakat di sekitar lebih merasakan manfaat yang lebih besar,” demikian Wahyudi Adisiswanto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.