Dikutip dari buku Dinamika Kota Tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat (2006) yang ditulis Erwiza Erman dan kawan-kawan, Rancangan Undang-Undang (RUU) pertambangan batu bara Ombilin baru disahkan oleh parlemen Belanda pada 24 November 1891.
Jalur rel kereta yang ada sejak tahun 1894 itu terbentang dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur an digunakan untuk mengangkut hasil tambang batu bara sekaligus alat transportasi.
Baru setelah diangkut menggunakan kereta api, hasil tambang tersebut di ekspor menggunakan kapal uap SS Sawahlunto dan SS Ombilin-Nederland.
Sebagai fasilitas pendukung, stasiun kereta api Sawahlunto dengan fasilitas memadai dibangun pada 1918, yang sekarang telah dijadikan sebagai museum kereta api.
Dilansir dari laman Antara, Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun infrastruktur daerah tersebut dengan menggunakan tenaga kerja paksa atau orang rantai dan tenaga kontrak dari berbagai suku bangsa.
Daerah yang berada di area Bukit Barisan itu kemudian tumbuh dan berkembang, dan diresmikan menjadi kota pada 1 Desember 1888.
Selanjutnya, tambang Ombilin di Sawahlunto beberapa kali berganti pemilik. Tambang batu bara yang semula dikuasai oleh Belanda tersebut kemudian berpindah ke tangan Jepang sejak 1942 sampai 1945.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, akhirnya tambang itu dikelola Direktorat Pertambangan, yang kemudian tanggung jawab pengelolaannya dipegang oleh Badan Usaha Milik Negara, PT Bukit Asam (Tbk) Unit Pertambangan Ombilin (PTBA UPO).
Dilansir dari laman PT Bukit Asam Tbk, kekayaan batu bara di Sawahlunto ini terekam di sebuah lubang tambang batu bara yang dikenal sebagai Lubang Mbah Suro.
Lubang ini merekam derita para pekerja paksa yang merupakan tahanan pemerintahan Hindia Belanda. Mereka didatangkan dari Pulau Jawa dan daerah lain yang kemudian disebut orang rantai.
Sebelumnya pada tahun 1932, Lubang Mbah Suro sempat ditutup oleh belanda.
Kemudian pada 2007, lubang yang berada di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar ini pun dibuka kembali oleh pemerintah daerah.
Setelah melalui beberapa kali pemugaran, Lubang Mbah Suro kemudian dimanfaatkan untuk keperluan pariwisata dengan dibuatnya saluran air dan udara agar pengunjung dapat memasukinya dengan nyaman.
Meski PTBA UPO kini tidak beroperasi lagi karena harga acuan batu bara tak sebanding dengan ongkos produksi jenis tambang, namun PTBA UPO telah membangun Museum Tambang Batu Bara Ombilin yang desmikan pada 14 Juni 2016 lalu.
Museum ini didirikan sebagai pusat dokumentasi dan arsip PTBA UPO, dan diharapkan dapat menjadi pelengkap mutakhir dari berbagai objek wisata yang ada di Sawahlunto.
Selain itu, diharapkan dapat menjadi pusat studi dan informasi sejarah pertambangan batubara di Indonesia serta mampu menarik wisatawan domestik dan mancanegara.
Sumber:
indonesia.go.id, kebudayaan.kemdikbud.go.id, bdtbt.esdm.go.id, dan ptba.co.id