SEMARANG, KOMPAS.com - Pengamat transportasi Theresia Tarigan menilai, kebijakan subsidi sejuta motor listrik justru menambah ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi.
Selain itu, Founder Komunitas Peduli Transportasi Kota Semarang (KPTS) ini menjelaskan, hal tersebut juga bertentangan dengan prinsip transportasi berkelanjutan.
“Untuk masyarakat umum (subsidi motor listrik) berarti mempertahankan perilaku ngelaju berkendara itu kan buang waktu di jalan juga biarpun pakai motor listrik. Ampun deh kebijakan ini masyarakat disuruh motoran sampai tua,” ungkap Theresia, Senin (10/4/2023.
Baca juga: Kritik Kebijakan Subsidi Motor Listrik, Pengamat Minta Pemerintah Dahulukan Transportasi Massal
Menurutnya, pemerintah semestinya menyuplai rusunawa yang dekat dengan tempat kerja. Kemudian memperbaiki transportasi massal bagi masyarakat.
“Yang pertama menyuplai perumahan pekerja dan keluarganya. Yang kedua memperbaiki transportasi massal. Karena transportasi masal akan sulit menjangkau rumah-rumah di pinggiran,” katanya.
Pihaknya menilai, keberadaan rumah tapak atau landed house turut menggerus lahan terbuka hijau, lahan pertanian, pekebunan, dan lainnya. Sehingga masalah ini juga terkait perebutan ruang hidup bagi masyarakat.
“Harga tanah murah di pinggiran, pada membangun rumah di sana. Akhirnya mereka tergantung dengan kendaraan pribadi,” lanjutnya.
Bila mengikuti prinsip tranportasi berkelanjutan, pemerintah perlu mendorong jadi less mobility dengan mendekatkan jarak rumah ke tempat kerja.
“Makanya perlu dibangun rumah tinggal yang dekat tempat kerja, sehingga tempat kerja bisa dijangkau dengan berjalan kaki, sepeda, atau bus,” katanya.
Baca juga: INFOGRAFIK: 5 Syarat Dapatkan Subsidi Motor Listrik
Ia menganggap subsidi motor listrik masih terlalu dini di Indonesia. Pasalnya belum ada kesiapan prasarana yang memadai, seperti fasilitas charging, bengkel, hingga penggunaan bahan bakar listrik dari sumber energi terbarukan.
“Mendorong motor listrik di saat suplai listrik dari PLTU batu bara, itu kan norak banget. Jadi kita harus kita bisa menyediakan raw material yang ramah lingkungan juga untuk menjadi listrik kan. Kalau enggak kan sama aja bohong,” selorohnya.
Menurutnya subsidi ini belum tepat sasaran untuk tujuan lebih luas. Misalnya dari segi penghematan biaya transportasi bagi keluarga pekerja. Pasalnya selama ini setiap indivisu dalam keluarga memiliki kendaraan sendiri.
“Nah jadi ada hal yang lebih tepat dibanding mensubsidi kendaraan. Tetapi bagaimana mengintegrasikan rencana pembangunan guna lahan dengan rencana mobilitasnya. Intinya mendekatkan jarak antar pekerja dari tempat kerja ke tempat tinggal atau rumahnya,” terangnya.
Sekalipun telah melakukan konversi motor listrik, tetap ada risiko tinggi terhadap kecelakaan, kemacetan dan tentunya pemborosan ongkos transportasi.
Baca juga: Ada Subsidi Motor Listrik, Gesits Genjot Produksi 20.000 Unit
“Menurut saya pemerintah pusat perlu menggalakkan seperti yang Pak Jokowi lakukan program sejuta rumah yang ada di Pringapus kan. Kemudian pak Basuki sendiri sudah membangun rusunawa untuk pagawai ATR,” imbuhnya.
Pihaknya bekaca dengan Singapura, bila warga tinggal di SDB flat sudah pasti berdekatan dengan halte bus dan Stasiun MRT mengingat orang yang dilayani banyak turun dari flat. Sehingga fasilitas terbilang layak secara ekonomis.
“Lah kita satu sisi mau mengembangkan angkutan umum, di satu sisi susah penumpangnya terpencar-pencar. Apalagi sekarang yang ditawarkan malah mobil listrik. Jadi seperti ada orang yang mengambil keuntungan di sini. Siapa nggak tau, kita kan jadi megarah ke situ pemikiran kita,”.
Subsidi tersebut dinilai tepat hanya bila diberikan kepada pelaku wisata di bali di borobudur, khusus untuk kendaraan wisata.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.