MALANG, KOMPAS.com - Sabtu 1 Oktober 2022, bisa jadi malam tidak terlupakan bagi warga Malang dan suporter sepak bola di Indonesia.
Pada malam itu, kericuhan yang berujung tragedi, pecah di Stadion Kanjuruhan, Malang. Sebanyak 135 orang fan Arema FC atau Aremania meninggal dalam kejadian itu.
Itu adalah tragedi sepak bola yang memakan korban terbanyak kedua di dunia, setelah kejadian di Stadion Nasional Peru pada 1964.
Saat itu, sebanyak 328 orang meninggal usai pertandingan Peru melawan Argentina pada kualifikasi Olimpiade 1964.
Kekalahan Arema itulah yang memicu sejumlah suporter turun ke lapangan. Tujuannya ingin menyampaikan protes atas kekalahan Arema FC.
Gelombang massa supporter yang turun ke lapangan pun terus mengalir, hingga membuat aparat keamanan mengambil tindakan represif, berupa tembakan gas air mata.
Baca juga: Pintu Tribune 13, Saksi Bisu Hilangnya 131 Nyawa dalam Tragedi Kanjuruhan...
Tidak hanya ke dalam lapangan, tembakan itu juga diarahkan ke tribune. Hingga membuat para suporter berhamburan. Kepanikan membuat suporter berlarian mencari jalan keluar.
Di pintu keluar stadion, mereka bertumpukan, kesulitan bernapas dan diperparah dengan gas air mata.
Dari rangkaian penyelidikan, ada dua kemungkinan penyebab kematian 135 supporter itu. Yakni keracunan gas air mata atau kehabisan oksigen saat mereka berdesakan keluar dari stadion.
Baca juga: 20 Polisi Langgar Etik di Tragedi Kanjuruhan, Termasuk Eks Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat
Kapolri juga menonaktifkan jabatan Komandan Batalyon (Danyon) Komandan Kompi, dan Komandan Peleton Brimob Polda Jawa Timur yang berjumlah sembilan orang.
Kapolri juga menyatakan, sebanyak 18 polisi yang menggunakan senjata pelontar gas air mata dalam pengamanan saat kerusuhan terjadi, diperiksa.
Mereka adalah, Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno.
Baca juga: Eks Dirut PT LIB yang Terjerat Kasus Tragedi Kanjuruhan Dibebaskan, Ini Penjelasan Polisi