KOMPAS.com - Wilayah Kepulauan Mentawai yang berada di pantai barat Pulau Sumatera memiliki potensi risiko tinggi terhadap ancaman bencana gempa.
Potensi gempa di Kepulauan Mentawai bersumber dari zona megathrust maupun pada zona sesar Mentawai.
Baca juga: Sesar Mentawai, Sesar Aktif di Lepas Pantai Barat Sumatera
Meski gempa tidak dapat diprediksi, namun sejarah gempa Mentawai dapat menjadi petunjuk dalam menentukan langkah-langkah mitigasi.
Dilansir dari laman lipi.go.id, ahli paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja mengungkap bahwa pihaknya meramal adanya gempa besar di Mentawai setelah kejadian gempa bumi berkekuatan 7,2 Skala Richter yang memicu tsunami pada 2010.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 12 Tahun Gempa Mentawai Disusul Gelombang Tsunami Tewaskan Ratusan Orang
Namun Hilman belum bisa memastikan kapan gempa tersebut terjadi dan hanya bisa memprediksi besarnya.
Hilman juga menyampaikan bahwa prediksi itu disimpulkan berdasarkan pola gempa-gempa besar di wilayah Mentawai yang cenderung berulang.
Diketahui siklus gempa besar di zona subduksi Mentawai selalu berulang mengikuti siklus 200 tahunan.
Baca juga: Gempa Magnitudo 5,1 Guncang Mentawai Sumbar, Terasa di Bengkulu
Kejadian gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai diketahui tercatat mulai tahun 1797, berikut adalah ringkasannya.
Dilansir dari pemberitaan Antara pada 14 Maret 2022, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memiliki catatan sejarah gempa merusak di Segmen Mentawai.
Pada 10 Februari 1797 pada malam hari sekitar pukul 22.00 WIB telah terjadi gempa berkekuatan 8,5 magnitudo.
Sumber gempa diketahui berasal dari wilayah yang kini lazim disebut sebagai Segmen Mentawai Megathrust.
Gempa tersebut menyebabkan 300 orang meninggal dunia dan menyebabkan tsunami.
Dilansir dari laman lipi.go.id, pada 1833 terjadi gempa yang menimbulkan tsunami di wilayah pesisir barat Pulau Sumatera.
Meski tidak terdokumentasi, namun Ilmuwan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI bekerja sama dengan Tectonic Observatory, California Institute of Technology (Caltech), Amerika, berhasil menerjemahkan kejadian ini dari pola-pola pertumbuhan terumbu karang di sekitar Mentawai.
Hal itu juga cocok dengan gempa misterius yang dirasakan warga Singapura. Seperti dikutip dari situs National University of Singapore, kejadian gempa misterius itu terjadi pada 24 November 1833.
Dilansir dari laman bnpb. go.id, pada 16 Februari 1861 pukul 19.00 WIB, Segmen Nias melepaskan energinya dan menimbulkan tsunami di pantai barat Sumatera.
Sementara gempa susulan berkekuatan M 7.0 terjadi 21 hari setelahnya pada pukul 10 malam, yang kembali menimbulkan tsunami di Pulau Simuk dengan korban tambahan 950 jiwa.
Pada 4 Februari 1971 terjadi gempa dengan kekuatan M 6,3 yang menyebabkan sejumlah bangunan rusak.
Pada 8 Maret 1977 gempa berkekuatan 5,5 membuat 982 rumah serta sejumlah fasilitas umum rusak.
Pada 28 April 1979 sebanyak 64 orang meninggal, sembilan orang hilang, dan 193 rumah rusak akibat gempa bermagnitudo 5,8.
Pada 16 Februari 2004 terjadi gempa M5,6 membuat lima orang meninggal, tujuh orang luka-luka, dan 100 rumah rusak. Hanya berselang tujuh hari, gempa M6,0 kembali mengguncang Segmen Mentawai.
Pada 17 Desember 2006 gempa M6,0 mengguncang dan membuat tujuh orang meninggal, 100 orang luka-luka, dan 680 rumah rusak.
Pada 6 Maret 2007, terjadi gempa dengan kekuatan M 6,3 yang menyebabkan setidaknya 67 orang meninggal dunia dan 826 luka-luka akibat.
Di tahun yang sama, pada 13 September 2007 gempa berkekuatan 7,1 menyebabkan 25 meninggal dunia, 161 luka-luka, dan lebih dari 56 ribu bangunan rusak.
Pada 24 Februari 2008 terjadi gempa berkekuatan M 6,5 pada pukul 14.46 WIB.
Gempa berkekuatan M 7,4, M 6,5, dan M7,0 kembali mengguncang pada 25 Februari 2008.
Pada 16 Agustus 2009, gempa M 6,9 menyebabkan gelombang tsunami dan membuat sembilan orang luka-luka.
Lalu gempa lebih besar terjadi pada 30 September 2009 dengan kekuatan 7,6 membuat 1.100 meninggal dunia, 2.181 luka-luka, dan 2.650 bangunan rusak serta menyebabkan tsunami.
Pada 5 Maret 2010 terjadi gempa dengan magnitudo M 6,3.
Kemudian pada 25 Okt 2010 terjadi gempa dengan magnitudo M 7,2 dan diikuti oleh gelombang tsunami.
Rekaman tinggi gelombang tsunami mencapai 17 meter pada sebuah pulau kecil di barat Pagai Selatan, antara 5 - 8 meter di Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora, serta melibas habis Pulau Sibigeu.
Pada 2014 terjadi gempa dengan magnitudo M 5,0.
Pada 2 Maret 2016 terjadi gempa dengan magnitudo M 7,8 dengan pusat gempa berada di laut 636 km barat daya Kepulauan Mentawai.
Gelombang tsunami terdeteksi di Pulau Cocos 10 cm dan di Padang setinggi 5 cm.
Pada 1 September 2017 terjadi gempa dengan magnitudo M 6,2 dengan pusat gempa berada di laut 80 km timur laut Kepulauan Mentawai.
Pada hari Senin, 19 Oktober 2020 pada pukul 14.31 WIB terjadi gempa dengan magnitudo M 5,8 yang diikuti beberapa gempa berkekuatan M 5,7, M 5,0, dan M 5,3.
Posisi pusat gempa bumi berada di di perairan barat daya Pulau Pagai Selatan yang berasosiasi dengan aktivitas penunjaman Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia.
Pada Senin, 3 Mei 2021 pada pukul 00.46 WIB terjadi gempa dengan magnitudo M 5,7.
Gempa bumi juga terjadi pada hari Rabu, 12 Mei 2021 magnitudo M 5,1.
Posisi pusat kedua gempa bumi berasosiasi dengan aktivitas penunjaman Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia.
Pada hari Senin, tanggal 14 Maret 2022 terjadi gempa dengan magnitudo M 6,9.
Kemudian, gempa bumi terjadi pada hari Senin, tanggal 29 Agustus 2022 dengan magnitudo M 6,4.
Gempa bumi juga terjadi pada hari Minggu, 11 September 2022 dengan magnitudo M 6,1.
Sumber:
Katalog Gempabumi Signifikan dan Merusak Indonesia Tahun 1821-2018 (BMKG), lipi.go.id, bnpb.go.id, vsi.esdm.go.id, dan antaranews.com