MALANG, KOMPAS.com - Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menilai, penetapan enam tersangka dalam tragedi kanjuruhan yang menewaskan 131 orang, belum cukup.
Menurut Bambang, enam tersangka itu hanya sebagai operator di lapangan yang sifatnya lebih kepada melaksanakan tugas dari pimpinan.
"Enggak cukup lah, mereka (6 tersangka) hanya operator di lapangan yang hanya melaksanakan tugas di lapangan," ungkapnya melalui pesan singkat, Minggu (9/10/2022).
Seharusnya, kata dia, ada pihak pengambil kebijakan di tingkat atas yang seharusnya juga dimintai pertanggungjawaban.
Baca juga: Duka Devi Atok, Aremania yang Kehilangan 2 Anaknya dalam Tragedi Kanjuruhan
"Harus ada pihak-pihak pengambil kebijakan yang bertanggung jawab," jelasnya.
Kondisi ini, kata peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) ini, karena sistem hukum di Indonesia yang mengakibatkan tindak pidana kerap tak menyentuh pihak yang paling bertanggung jawab.
Dalam banyak aspek, menurut Bambang, pada kasus serupa, hukuman hanya menyasar pada operator di lapangan.
"Padahal banyak aspek terkait sebuah insiden," tuturnya.
"Analoginya, sebagai contoh hukum positif kita selalu menghukum seorang sopir truk yang kecelakaan dan mengakibatkan korban meninggal. Tapi tidak pernah menyentuh bos sopir yang tidak pernah merawat mobilnya dengan benar, dan petugas kir yang korup dan mengijinkan truk yg tak layak ke jalanan," sambungnya.
Begitupun dalam peristiwa kerusuhan Stadion Kanjuruhan, juga dinilai akibat sistem yang korup dalam industri persepakbolaan Indonesia.
Menurut Bambang, selama sistem itu tidak diperbaiki dan hanya menyentuh pelaku di lapangan, tidak menutup kemungkinan tragedi yang sama akan terulang di kemudian hari.
"Persoalan menersangkakan seseorang itu hal yang gampang dan gamblang. Penyidik kepolisian yang lebih tahu. Hanya saja menurut saya idealnya pemegang otoritas terkait even ini juga harus diusut," tuturnya.
"Pemilik otoritas dan decision maker (pengambil keputusan) tentu level elite," imbuh Bambang.
Kemudian, problem yang lebih substansial bukan sekadar menetapkan tersangka kepada banyak orang.
Tapi lebih kepada proses pengusutan peristiwa tersebut, sehingga kasus dalam tragedi kerusuhan Stadion Kanjuruhan bisa terurai dengan terang.
"Usut tuntas siapa dan apa yang salah sehingga mengakibatkan peristiwa itu terjadi. Baik kepolisian, event organizer maupun otoritas sepak bola nasional alias PSSI. PSSI tidak bisa cuci tangan dengan menyerahkan tanggung jawab hanya pada EO (event organizer) saja," jelasnya.
"Kesalahan itu bisa masuk unsur pidana, cuma etik profesi, etika organisasi, atau terkait tanggung jawab moral," lanjut Bambang.
Hal ini, tergantung kemauan dari pemerintah, untuk mengusut peristiwa itu dengan seterang-terangnya.
"Kalau melihat motif, para operator ini tak ada yang diuntungkan. Tetapi sebaliknya pihak yang diuntungkan dalam sebuah even adalah para pemegang policy (kebijakan)," pungkasnya.
Baca juga: Dokter Sebut Rata-rata Korban Luka Tragedi Kanjuruhan Masih Alami Mata Memerah dan Dada Sesak
Sebelumnya, Kapolri Jendral Pol. Listyo Sigit Prabowo telah menyampaikan enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah, Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita; Ketua Panita Pelaksana Abdul Haris; Security Officer Arema FC Suko Sutrisno; Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Seto Pranoto.
Lalu, Komandan Kompi Sat Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman; dan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Ahmadi.
Para tersangka dijerat Pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan Pasal 103 Jo Pasal 52 UU RI Nomor 11 Tahun 2022 tentang keolahragaan.
Sebelum itu, Kapolri juga mengeluarkan kebijakan pencopotan kepada Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat digantikan oleh Mantan Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok, AKBP Putu Cholis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.