KOMPAS.com - Barisan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) selalu menarik perhatian masyarakat di tengah kemegahan upacara Hari Kemerdekaan RI tiap tahunnya.
Keberadaan anggota Paskibraka bukan hal baru dan sudah ada sejak puluhan tahu lalu.
Kala itu, Husein Mutahar yang menjabat sebagai Sekretaris Panglima Angkatan Laut, Laksamana Muda Mohammad Nazir, dengan pangkat Kapten (Laut) menemani Soekarno yang mengadakan lawatan ke Yogyakarta.
Pada tahun 19946, Soekarno pun meminta Husein Mutahar menjadi ajudannya. Pangkat Mutahar pun dinaikkan menjadi Mayor (laut).
Baca juga: Saat Gibran Tetap Semangati Paskibraka meski Gagal Kibarkan Bendera...
Mutahar memiliki peran besar untuk menyelamatkan bendera pusaka yang dijahit Ibu Fatmawati. Usai Proklamasi, di tahun 1948, ia diminta menyelamatkan bendera pusaka saat Soekarno akan meninggalkan Yogyakarta.
Oleh Mutahar, benang jahitan yang menyatukan kain merah dna kain putih dilepas dan dua carik kain itu diselipkan ke dua tas terpisah miliknya.
Setelah setahun menyimpannya, tepatnya pada Juni 1949, Mutahar mengembalikan bendera pusaka secara utuh ke Soekarno yang diasingkan di Bangka.
Bendera Pusakan dikirim ke Bangka melalui tangan Soedjono, anggota anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia).
Baca juga: Kisah Husein Mutahar Selamatkan Bendera Pusaka, Cabut Benang Jahitan dan Pisahkan Kain Merah Putih
Acara peringatan akan digelar di halaman Istana Presiden Gedung Agung, Yogyakarta.
Seberkas ilham berkelebat di benak Mutahar, ketika ia sedang memikirkan untuk menyusun acara istimewa bagi rakyat Indonesia.
Pesatuan dan Kesatuan bangsa wajib dilestarikan. Dan i pun menggunalan simbol pengibaran bendera pusaka yang dilakukan oleh para pemuda Indonesia.
Kala itu ia menunjuk lima pemuda yang terdiri dari 3 putri dan 2 putra dari berbagai wilayah ddi Yogyakarta. Lima orang adalah melambangkan Pancasila.
Pengibaran bendara pusaka itu tetap dilaksanakan hingga HUT RI keempat di tahun 1949.
Baca juga: Sosok Husein Mutahar, Ajudan Soekarno yang Juga Pencipta Lagu Hari Merdeka
Setelah Pengakuan Kedaulatan, ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta. Mulai 17 Agustus 1950, pengibaran bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka, Jakarta.
Sejak saat itu Mutahar tidak lagi menangani upacara pengibaran bendera. Regu-regu pengibar dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan Rl sampai tahun 1966.
Mutahar merasa belum tuntas melaksanakan amanah untuk melakukan upacara detik-detik Proklamasi, karena para pengibar bendera belum mewakili pemuda dari seluruh Indonesia, seperti yang ada dalam pikiran Mutahar
Ia pun seakan hilang bersama impiannya.
Baca juga: Kisah Soekarno Jalani Pembuangan di Ende
Saat itulah, ia kembali teringat pada gagasannya di tahun 1946, membangun pasukan pengibar bendera yang anggotanya terdiri dari putra-putri terbaik dari seluruh Indonesia.
Perjuangan untuk mendapatkan tempat kerja yang memadai
akhirnya diperoleh. Mutahar dan jajarannya kemudian mewujudkan cikal bakal latihan kepemudaan yang kemudian diberi nama ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila”. Latihan itu sempat diujicoba sebanyak dua kali, yaitu tahun 1966 dan tahun 1967.
Mutahar kemudian menyusun ulang dan mengembangkan formasi pengibaran bendera dengan membagi pasukan menjadi tiga kelompok, yakni Kelompok 17 (Pengiring/Pemandu), Kelompok 8 (Pembawa/Inti) dan Kelompok 45 (Pengawal).
Formasi ini merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Republik Indonesia 17 Agustus 1945, (17-8-45).
Baca juga: Peci Hitam Soekarno
Mutahar terus memikirkan formasi tersebut dan mencoba mensimulasikan keberadaan pemuda utusan daerah dalam gagasannya. Ia menyadari bahwa dalam kenyataannya pada saat itu belum dimungkinkan untuk mendatangkan mereka ke Jakarta.
Akhirnya diperoleh jalan keluar dengan melibatkan putra-putri daerah yang ada di Jakarta, yang menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka pada tanggal 17 Agustus.
Mutahar juga merencanakan untuk mengisi personil kelompok 45 (pengawal) dengan para taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) sebagai wakil generasi muda ABRI.
Akan tetapi gagasannya tidak dapat diwujudkan mengingat kegiatan tersebut tidak berbarengan dengan libur antar semester. Selain itu ada kendala dengan transportasi dari Magelang ke Jakarta.
Baca juga: Hari-hari Soekarno di Penjara Sukamiskin
Meskipun anggota-anggota itu berada di Jakarta, namun juga tidak mudah dalam melakukan koordinasi. Akhirnya, Mutahar mengambil jalan yang paling mudah yaitu dengan merekrut anggota Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres), atau sekarang Pasukan Pengamanan
Presiden (Paspampres)
Mereka bisa langsung dikerahkan, apalagi sehari-hari mereka memang bertugas di lingkungan Istana.
Pada tanggal 17 Agustus 1968, rencana Husein Mutahar akhirnya dapat diwujudkan.
Setelah pada 1967 diadakan ujicoba, maka pada tahun 1968, mulai didatangkan para pemuda utusan daerah dari seluruh Indonesia untuk berpartisipasi dalam upacara pengibaran
bendera pusaka.
Baca juga: Kisah Soekarno dan Petani Marhaen di Bandung
Selama enam tahun, 1967-1972, bendera pusaka dikibarkan oleh para pemuda utusan daerah dengan sebutan “Pasukan Pengerek Bendera”.
Pada tahun 1973, Drs. Idik Sulaeman, Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), yang juga Pembina Penegak Gerakan Pramuka ikut membantu Husein Mutahar melatih para pengibar bendera.
Idik kemudian melontarkan suatu gagasan baru tentang nama pasukan pengibar bendera pusaka, yaitu Paskibraka, yang merupakan singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Mutahar menyetujui nama tersebut. Dengan demikan Pasukan Pengerek Bendera Pusaka berubah namanya menjadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.