Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peci Hitam Soekarno

Kompas.com - 17/08/2022, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Presiden pertama Indonesia, Soekarno, tak bisa dilepaskan dengan atribut peci hitam atau songkok di kepala.

Dalam banyak kegiatan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun internasional, Soekarno tak pernah melepaskan peci hitam di kepalanya.

Dalam skripsi Sejarah Penutup Kepala di Indonesia: Studi Kasus Pergeseran Makna Tanda Peci Hitam (1908-1949), dituliskan saat ada rapat organisasi, Soekarno memakai peci sebagai tanda pengenalnya.

Pernah suatu hari saat datang dalam rapat Jong Java di Surabaya pada Juni 1921, ia diminta untuk melepas peci yang dipakainya. Namun, ia menolak dengan prinsip dirinya bukan pengekor, tapi sebagai pemimpin.

Baca juga: Kisah Asmara Orangtua Sukarno, Guru Soekemi yang Jatuh Cinta Pada Gadis Bali

Kala itu Soekarno masih berusia 20 tahun. Sebelum mengikuti rapat, dia sembunyi di belakang tukang sate dan mengamati kawan-kawan yang tak mau menggunakan tutup kepala karena ini seperti orang Barat.

Saat masuk ke ruang rapat, semua mata terarah Soekarno tanpa kata-kata. Di saat itu Soekarno berusaha memecah kesunyian dengan mengatakan, "Janganlah kita melupakan demi tujuan kita bahwa para pemimpin berasal dari rakyat. Setelah itu yang terjadi tetaplah sama semua mata masih memandanginya".

Ketika itu, Soekarno memiliki pedoman bahwa peci memberikan sifat khas perorangan, seperti yang dipakai oleh pekerja-pekerja dari bangsa Melayu, adalah asli kepunyaan rakyat Indonesia.

Dengan semangat, Soekarno mengajak semua anggota rapat untuk mengangkat kepala tinggi-tinggi dan memakai peci sebagai lambang Indonesia Merdeka.

Baca juga: Tak Diundangnya Ganjar dan Persaingan Pendukung Trah Sukarno dengan Kelompok Modern di PDI-P

Lukisan cat air di atas kertas berjudul The Hero karya perupa Bali I Made Sutarjaya dipamerkan pada pameran Jejak Putra Sang Fajar di Perpustakaan Bung Karno, Kota Blitar 18-23 JuniKOMPAS.COM/ASIP HASANI Lukisan cat air di atas kertas berjudul The Hero karya perupa Bali I Made Sutarjaya dipamerkan pada pameran Jejak Putra Sang Fajar di Perpustakaan Bung Karno, Kota Blitar 18-23 Juni
Sementara itu, dalam buku yang berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams menuliskan, pada tahun 1928 Bung Karno pernah mengusulkan agar semua anggota PNI, partai yang ia dirikan, memakai pakaian seragam.

Usul itu memunculkan kontroversi. Salah satunya disampaikan Ali Sastroamidjojo yang kelak menjadi dubes dan perdana menteri di tahun 1950-an.

Ali Sastroamidjojo berpendapat bahwa kita seharusnya tidak berpakaian seragam seperti orang Eropa karena bertentangan dengan kepribadian nasional.

Melainkan, menggunakan seragam tanpa sepatu dan sandal, sehingga tampak revolusioner di mata rakyat. Tanpa disangka, suasana kongres pun menjadi riuh karena perdebatan antara Soekarno dan Ali Sastroamidjojo.

Baca juga: Foto Masa Muda Dewi Sukarno Bikin Warganet Bersimpati

Kepada Ali, Soekarno berkata tajam, "Aku tidak setuju... banyak orang kaki ayam, akan tetap mereka bukan orang yang revolusioner. Banyak orang yang berpangkat tinggi memakai sarung, tapi mereka bekerja dengan sepenuh hati dengan kolonialis. Yang menandakan seseorang itu revolusioner adalah bakti yang ditunaikannya dalam perjuangan."

Pada perdebatan kala itu, usulan serta pendapat Soekarno kalah. Meski demikian, Soekarno dan sebagian besar tokoh pergerakan tetap menggunakan celana panjang, jas, kemeja putih, sepatu, dan dasi.

Selain itu, Bung Karno juga pernah mengatakan dalam buku tersebut.

"Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Bung Karno dan Hatta Diculik ke Rengasdengklok

Soekarno kemudian selalu mengenakan peci hitam, termasuk saat tampil di depan publik membacakan pleidoinya "Indonesia Menggugat" di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.

Pleidoi yang disampaikan Soekarno membuat dia dan tokoh PNI lainnya dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin, Bandung.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com