Pada tahun 1958, Waldjinah melakukan rekaman di studio Lokananta. Lagu yang direkam adalah Kembang Kacang.
Saat rekaman, Waldjinah berkenalan dengan Gesang, seorang pencipta lagu. Sejak saat itu lagu Kembang Kacang diputar setiap hari di siaran RRI di beberapa kota.
Dikutip dari Indonesia.go.id, sewaktu rekaman itu, Waldjinah yang baru berusia 12 tahun dengan postur mungilnya tak mampu menjangkau letak corong mikrofon.
Alhasil, penyanyi yang kemudian dikenal sebagai Ratu Keroncong dengan 1.700 karya lagu keroncong itu terpaksa dinaikkan ke bangku kayu kecil atau dingklik.
Upaya itu dilakukan agar posisi mulut bocah bersuara emas itu pas dengan corong mikrofon. Rekaman perdana di Lokananta itu sebagai hadiah yang ia terima setelah memenangkan kontes menyanyi "Ratu Kembang Katjang".
Waldjinah menikah dengan Sulis Mulyo Budi pada 12 Februari 1961. Sang suami adalah guru Aljabar di sebuah SMP swasta dan juga anggota perkumpulan keroncong yang dipimpin Gesang.
Dari pernikahan tersebut Waldjinah memiliki 5 anak. Setelah mengandung anak kelima, Waldjinah kembali ke tarik suara.
Pada tahun 1961, Waldjinah menjadi tenaga honorer menyanyi di RRI surakarta.
Dalam seminggu, ia tiga kali bernyanyi dan disiarkan di radio RRI. Sebagai pegawai honorer, Waldjinah tak diperkenankan untuk menyanyi di tempat lain.
Pada tahun 1965, Waldjinah yang sedang hamil anak kelima memperoleh juara pertama Bintang Radio Tingkat Nasional untuk jenis keroncong.
Ia pun mendapat penghargaan dari pemerintah yang diberikan secara langsung oleh Presiden Soekarno.
Baca juga: Menkop UKM: Kota Solo Jadi Kiblat Dunia Ilmu Budaya Musik Keroncong
Walang kekek adalah lagu rakyat Jawa Timur dan tak diketahui penciptanya. Sebenarnya lagu itu berasal dari lagu rakyat di Pulau Madura.
Lalu oleh Winarso menyarankan pergantian syair menjadi lebih umum dalam bentuk parikan dengan ciri, gaya, dan logat khas Suroboyoan.
Lagu Walang Kekek pun direkam di Studio Irama, Jakarta dan berhadil terkenal di pasaran.
Waldjinah pun berada di puncak ketenaran karena hampir semua kalangan menggemarinya. Berkat kesuksesan lagu itu, ia mendapat Waldjinah Si Walang kekek dari penggemarnya.
Baca juga: Di Balik Viralnya Ojo Dibandingke dan Fenomena Musik Kampung yang Naik Kelas
Pada tahun 1969, tepatnya di Hari Raya Idul Fitri, lagu Walang Kekek diedarkan di masyarakat.
Bahkan dari lagu tersebut, Waldjinah mendapat undangan pentas ke Suriname.
Tahun 1972, Waldjinah dan Orkes Bintang Surakarta mendapatkan kesempatan show di Singapura. Lalu tahun 1971-1973, Waldjinah dan Orkes Bintang Surakarta mendapat kontrak Klub Malam LCC Surabaya.
Akhirnya ia pun lebih banyak tinggal di Surabaya.
Saat berada di puncak karir, Waldjinah mendapatkan musibah. Anak perempuannya, Harini Dwi Hertiningsih meninggal di usia 10 tahun karena sakit muntaber.
Saat itu Waldjinah sempat berniat mundur dari dunia keroncong. Namun demi kebutuhan keluarga, ia tetap bertahan di Orkes Bintang Surakarta.
Baca juga: Rayakan Hari Jadi ke-77, Pemprov Jabar Gelar Lomba hingga Konser Musik
Pada tahun 1980, Waldjinah mendapat kejutan dari Istana merdeka untu tampil di acara peringatan HUT kemerdekaan RI.
Pada saat tampil, Waldjinah membawakan sejumlah lagu keroncong dan langgam Jawa, termasuk lagu Walangkakek.
Ia bernyanyi diiringi Orkes Bintang Jakarta pimpinan Budiman BJ.
Pada tahun 1990, Waldjinah dan Mneteri Koordinator Kesejateraan Rakyat, Soepardjo Rustam menghibur masyarakarat Suriname dalam acara "Perayaan 100 Tahun Orang Jaea di Suriname".
Ia juga pernah diundang ke Festival Musik Etnis di Jepang antara lain di Tokyo, Yokohama, Izume dan Kobe pada tahun 1999.
Baca juga: 5 Alat Musik Tradisional dari Sulawesi Selatan dan Cara Memainkannya
Dalam 10 hari di Jepang, Waldjinah melakukan rekaman di Jepang tepatnya di Dian Record.
Waldjinah juga menyanyikan lagu rakyat Jepang, Hana dalam versi Jawa irama keroncong di Shinjuka Bunka Center, Tokyo di hadapan 1.800 penonton.
Lalu tahun 1996-1997, Waldjinah melakukan misi kesenian di China, Belanda, dan Yunani. Ia pun kerap mengisi acara musik baik di luar negeri dan di dalam negeri.
Eksistensi Waldjinah dalam dunia keroncong menurun di tahun 2000 sampai 2013.
Namun di tahun 2000, ia melakukan rekaman untuk mengisi album Chrisye yang berjudul Semusim, album Mus Mulyadi yang berjudul Aja Digondeli dan album Didi Kempot Kutho Solo.
Pada tahun 2013, ia juga mempersiapkan album baru untuk diedarkan di pasaran dengan tajuk Javanova.
Album tersebut adalah kerjasana dengan musisi asal Hongkong, James Chu yang menjadi produser sekaligus music direct.
Javanova berisi kumpulan recycle lagu pop lawan yang pernah kondang.
Pada 2 Juli 2013, Waldjinah mendapatkan Lifetime Achievement Award atau penghargaan untuk pencapaian seumur hidup dari AMI 2013 untuk dedikasi tanpa henti di musik keorncong Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.