Namun karena virus corona, selama dua tahun ini jumlah penduduk yang mudik semakin sedikit.
Sebelum menjadi desa elit, Desa Bubakan dulunya menyandang status desa tertinggal dengan mata pencaharian utama masyarakatnya sebagai petani.
Baru pada tahun 1980-an, pengusaha asal Sukoharjo, Mbah Joyo mengajak beberapa warga desa untuk merantau.
"Mereka ikut Mbah Joyo, jualan jamu dan bakso. Mereka diminta menunggu cabang milik Mbah Joyo itu," ujarnya.
Setelah belajar cara membuat dan berjualan jamu saat bekerja dengan Mbah Joyo, mereka kemudian membuka usaha mereka sendiri.
Saat berwirausaha tersebut, mereka mengajak warga desa yang lain untuk bekerja di warungnya.
"Dari situ, banyak warga yang mulai merantau ke berbagai kota di Indonesia. Mereka jualan jamu dan bakso, dan sukses," ujarnya.
Kesuksesan warga Desa Bubakan itu pun terus diwariskan ke generasi berikutnya hingga sekarang.
"Saat ini yang merantau atau meneruskan usaha keluarganya sudah generasi ketiga," katanya.
Kini semakin banyak warga Desa Bubakan yang menjadi sukses karena merantau.
Hal ini pun membuat para pengusaha di perantauan menjadi semakin sulit mencari tenaga kerja dari desanya.
Tidak seperti dulu di mana warga kesulitan mencari kerja, sekarang kebanyakan warga Desa Bubakan justru bisa memilih untuk bersekolah atau membuka usaha sendiri.
"Saat ini, anak-anak muda yang belum pengalaman kalau ditawari kerja itu mereka lihat gajinya. Kalau cuma digaji Rp 1,2 juta, mereka gak mau," ujarnya.
Suparto mengatakan, tingkat pendidikan di desanya semakin maju seiring kesejahteraan ekonomi yang didapatkan.
Tak seperti dulu, kini semakin banyak pemuda di Desa Bubakan yang menjadi sarjana.