KOMPAS.com - Kasus warga menembok akses rumah tetangganya kerap terjadi akhir-akhir ini.
Yang terbaru adalah kasus yang melibatkan Sutikah (53) dan Sunarsih (63), warga Desa Mejobo, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Sunarsih menembok akses rumah Sutikah karena merasa kesal.
Camat Mejobo Aan Fitriyanto mengatakan, kasus ini berawal dari perselisihan antara Sutikah dan Sunarsih.
Baca juga: Kisah Sutikah Rumahnya Diblokir Tembok Tetangganya, Sering Cekcok hingga Mengumpat Busuk di Neraka
Konflik kian tajam saat Sutikah mengeluarkan sumpah serapah terhadap mendiang suami Sunarsih.
"Ibu Sutikah dan Sunarsih sudah puluhan tahun hidup bertetangga dan sering cekcok. Keduanya tak bersuami lagi dan komunikasi kurang baik. Ibu Sunarsih pun meradang, tak tahan dengan kata-kata tak pantas Ibu Sutikah terakhir kali, 'Bojomu bosok nek neroko'," ujarnya, Selasa (8/3/2022).
Menurut Sunarsih, alasannya menembok akses rumah tetangganya itu karena kesal terhadap perangai Sutikah.
Selama puluhan tahun hidup bertetangga, Sunarsih mengungkapkan bahwa Sutikah kerap mengucapkan kata-kata tak pantas terhadap dirinya pada saat bertengkar.
"Saya jengkel omongannya menyakitkan. Bahkan suami saya yang sudah meninggal juga dibawa-bawa. Untuk mediasi nanti terserah anak saya," ucapnya.
Sementara itu, di rumah sederhana tersebut, Sutikah tinggal bersama kedua anak dan seorang cucu.
Pada saat pembangunan tembok yang menutupi rumahnya, Sutikah dan keluarganya mengungsi ke kediaman saudaranya yang masih satu desa.
"Saya sadar selalu mengalah karena saya itu miskin. Cium kakinya pun saya bersedia," terangnya.
Duduk perkara kasus ini bisa dibaca di sini.
Baca juga: Alasan Sunarsih Menembok Akses Rumah Sutikah, karena Ada Perkataan yang Menyakitkan
Rumah yang ditinggali oleh Supriadi (49) bersama kakak dan adiknya tidak memiliki akses jalan.
Akses jalan di sisi timur dan barat rumah Supriadi ditutup tembok oleh tetangganya, yang masih berkerabat dengan Supriadi.
Satu-satunya akses jalan yang berada di sisi barat rumah Supriadi ditembok dan dibangun oleh pemiliknya sejak Sabtu (25/12/2021).
Gara-gara tak mempunyai akses jalan, warga Lingkungan Gerung Butun Barat, Kelurahan Mandalika, Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, ini harus lewat ke rumah tetangganya yang lain.
"Sementara ini kita lewat kamar mandi pak Musbah. Kamar mandi tembus ke dapur, dapur tembus ke teras. (Lewat) dalam rumahnya pak Musbah," ungkapnya, Jumat (31/12/2021), dikutip dari pemberitaan Kompas.com.
Baca juga: Rumahnya Tertutup Tembok Tetangga, Supriadi: Tolong Kembalikan Hak dan Jalan Saya
Supriadi menceritakan, dulunya rumahnya memiliki akses jalan untuk keluar masuk, yakni di sisi timur rumahnya.
Akan tetapi, akses jalan di sisi timur tersebut kemudian ditutup tembok, sejak beberapa tahun lalu.
Supriadi kemudian dipinjamkan akses jalan sementara di sisi barat yang merupakan tanah milik pamannya.
Namun, sejak pamannya meninggal dunia, tanah itu dibangun oleh ahli warisnya.
"Tolong dikembalikan hak saya ini, jalan saya ini. Saya minta akses kita yang dulu yang sudah dijadikan dapur," tuturnya.
Baca juga: Saat Akses Jalan Rumah Ridwan Ditembok Dua Tetangganya
Kasus serupa juga terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan.
Rumah seorang tahfiz Al Quran ditembok oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pangkep, Amiruddin.
Abd Aziz, Ketua RW 005, Kelurahan Masale, Kecamatan Panakkukang, menerangkan, salah satu alasan penembokan diduga karena masalah jemuran.
“Saya dengar dari anak tahfiz dianggap ribut karena mengaji. Kedua, masalah kebersihan bajunya, kan di sini dijemur. Penembokan pintu keluar rumah tahfiz tersebut sudah tiga hari lalu dikerjakan dan kemarin baru selesai,” jelasnya, Jumat (23/7/2021), dikutip dari pemberitaan Kompas com.
Camat Panakukang Thahir Rasyid menyebutkan, tembok tersebut dibangun di atas lahan fasilitas umum milik Pemerintah Kota Makassar.
“Itu lahan milik pemerintah, kok dipagari (tembok) oleh warga yang dekat lokasi rumah tahfiz Al Quran,” bebernya.
Akhirnya, pada Sabtu (24/7/2021), tembok tersebut dirobohkan.
Perwakilan keluarga Amiruddin, Achmad Akbar, menyampaikan, ada kesalahpahaman yang mengakibatkan kejadian itu.
“Saya atas nama keluarga, mohon maaf beribu-ribu maaf atas tindakan kami yang sama sekali tidak terpuji dan tidak benar. Apalagi kita tahu kegiatan di belakang ini adalah tahfiz sangat luar biasa dan harus kita dukung,” paparnya.
Baca juga: Akui Kesalahan, Anggota DPRD Bongkar Tembok Penutup Akses Rumah Tahfiz di Makassar
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, menjelaskan, fenomena warga menembok akses tetangganya merupakan gambaran terjadinya pergeseran atau perubahan sosial dari solidaritas mekanik ke organik.
Dalam solidaritas mekanik, hubungan antarindividu didasarkan pada emosi dan pertemanan serta kekeluagaan.
“Organik bergesernya menuju ke arah fungsionanal, ‘Kamu ada gunanya tidak?’ Ini tampaknya pergesaran ke arah organik, yang mana fungsi-fungsi dalam relasi bergeser,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/3/2022).
Baca juga: Begini Awal Mula Keluarga Ridwan Menempati Rumah yang Sempat Ditembok Tetangganya
Menurut Drajat, pembangunan tembok ini sebuah perwujudan hukuman represif.
“Tembok ini adalah sanksi yang diberikan ke tetangga lain. Ini represif,” ucapnya.
Dalam kasus-kasus di atas, Drajat tidak memandang bahwa telah terjadi pertentangan kelas.
“Karena ini kan bicara soal akses yang ditutup. Ini bukan soal persaingan kelas sosial. Kalau persaingan kelas, yang ditutup itu bukan akses, melainkan sumber-sumber ekonomi, kapital,” tuturnya.
Baca juga: Kronologi Jalan ke Rumah Ridwan Ditembok 2 Tetangga, Sempat Sepakat Akses Tetap Ada
Atas kejadian ini, Drajat pun mempertanyakan soal fungsi rukun tetangga. Dikatakan Drajat, rukun tetangga merupakan kebutuhan dalam penyelesaian masalah.
Ketika terjadi kondisi seperti ini, harusnya ada hukum atau peradilan yang dibuat oleh masyarakaat atau komunitas daerah.
“Apakah ada hak orang untuk menutup akses orang lain? Ini agar tidak terjadi perampasan sepihak tanpa memandang keberadaban,” jelasnya.
Mengenai penyelesaian masalah, Drajat menuturkan bahwa dalam masyarakat dengan solidaritas organik, ketika terjadi konflik seperti ini tak cukup untuk mengeluh kepada kiai, bayan, dan tokoh-tokoh lain.
“Harus diatur secara formal, terutama formal ketetanggaan,” terangnya.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Kontributor Grobogan, Puthut Dwi Putranto Nugroho; Kontributor Mataram Karnia Septa | Editor: Robertus Belarminus, Ardi Priyatno Utomo, Pythag Kurniati, Rachmawati)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.