Di Thawalib ini Hamka mulai mendalami kitab-kitab klasik dan kaidah bahasa Arab. Hamka memiliki ketertarikan lebih di bidang bahasa dan sastra Arab.
Memasuki tahuun 1924, Buya Hamka memutuskan untuk merantau ke Jawa, setelah banyak membaca di perpustakaan gurunya.
Satu tahun berikutnya, Hamka kembali ke Padang Panjang dan mulai menulis majalah.
Tulisan pertamanya bertajuk Chatibul Ummah yang berisi kumpulan khutbah yang didengarnya di Surau Jembatan Besi.
Tahun 1927, Hamka perg ke Mekah untuk mendalami bahasa Arab.
Di Mekah inilah Hamka bertemu dengan Haji Agus Salim, yang juga merupakan seorang jurnalis.
Pulang dari Mekah, Hamka mulai berjuang dengan bergabung bersama Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Pada tahun 1944, Hamka dipercaya menjadi anggota Majelis Darurat yang menangani masalah pemerintahan dan Islam.
Baca juga: Singkatan Nama 12 Pahlawan Nasional yang Jarang Diketahui, Ada TB Simatupang hingga Buya Hamka
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1949, Buya Hamka dan keluarganya memutuskan pindah ke Jakarta.
Hamka diangkat sebagai pegawai Kementerian Agama, dan diserahi tugas mengajar di sejumlah perguruan tinggi.
Pada tahun 1952, Hamka ditunjuk untuk menjadi pemimpin utama Muhammadiyah.
Hamka juga akif berpolitik melalui Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi.
Namun, Masyumi harus dibubarkan karena dituding terlibat dalam pemberontakan PRRI. Buya Hamka pun dijebloskan ke penjara.
Hamka baru dibebaskan pada tahun 1966. Sejak saat itu, Hamka kembali melanjutkan kiprahnya sebagai tokoh agama Islam di Indonesia.
Pada tanggal 26 Juli 1975, dibentuklah Majelis Ulama Indonesia atau MUI. Buya Hamka lantas ditunjuk menjadi Ketua MUI pertama.