Berdasarkan literasi yang ada, kata Kuncar, Makam Peneleh ditutup pada 1924 karena sudah penuh.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu memindahkan makam ke komplek makam Kembang Kuning di Kelurahan Pakis Kecamatan Sawahan.
Baginya, Makam Peneleh adalah laboratorium sejarah desain dan arsitektur.
Bukan hanya model bangunan makamnya yang berbeda tiap zaman, namun juga material pembuatannya, bentuk fontnya, simbol simbolnya, hingga ornamen ragam hiasnya.
"Ada perkawinan desain Belanda - Jawa dari bentuk makam. Ada konstruksi atap seng plus ornamen lisplang berukir tembaga," ucapnya.
Baca juga: Warga Temukan Terowongan Kuno di Klaten, Bermula Keruk Embung Peninggalan Belanda
Namun karena tidak terawat, banyak bagian-bagian makam yang hilang begitu saja, karena itu dia mendesak Pemkot Surabaya segera menetapkan kompleks Makam Peneleh sebagai cagar budaya.
Pakar Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Purnawan Basundoro menyebut Makam Peneleh adalah makam khusus untuk pejabat Hindia Belanda saat itu.
"Warga non Belanda tidak boleh dimakamkan di situ," ujarnya.
Saat itu, lokasi Makam Peneleh dipilih karena lokasinya jauh dari pemukiman warga.
"Saat itu pusat pemerintahan ada di sekitar Jembatan Merah, jadi makam Peneleh saat ini dulu lokasinya jauh dari pemukiman," terangnya.
Prof Purnawan Basundoro yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya mengaku sudah mengusulkan Makam Peneleh sebagai cagar budaya Kota Surabaya.
"Tim sudah mengusulkan agar makam Peneleh masuk daftar cagar budaya Kota Surabaya karena kita anggap sebagai sejarah berdirinya Kota Surabaya," ujarnya.
Baca juga: Gali Tanah untuk Buat Kolam, Warga Klaten Temukan Terowongan Peninggalan Belanda
Dia mengaku tidak tahu kapan surat keputusan Wali Kota Surabaya tentang status cagar budaya Makam Peneleh diturunkan.
"Yang penting kita sudah mengusulkan," jelasnya.
Setelah ditetapkan sebagai cagar budaya, pengelolaan makam Peneleh kata dia akan lebih serius dari sisi pengamanan dan pemeliharaan.