SALATIGA, KOMPAS.com - Dalam penanggalan Jawa, 1 Suro dimanfaatkan untuk menjamas atau membersihkan benda-benda yang dianggap keramat. Salah satunya yang jamak dijamas adalah keris.
Menurut pemerhati keris asal Salatiga, Dekan Bawono, menjamas erat kaitannya dengan kearifan lokal untuk melestarikan tradisi yang diturunkan leluhur.
"Ada nilai dan pesan yang filosofis dari tradisi menjamas setiap 1 Suro," jelasnya saat ditemui, Selasa (10/8/2021).
Baca juga: Begini Proses Pembersihan Keris pada Malam Satu Suro
Dekan yang memiliki ratusan keris ini menambahkan sebenarnya tidak hanya di bulan Suro saja keris dibersihkan.
Senjata tradisional Jawa itu akan dibersihkan secara cepat jika karat sudah muncul.
"Karena jika karat dan korosi, maka keris itu lama-lama akan keropos. Bila rusak maka unsur seni dan keindahannya otomatis akan hilang,” kata Dekan.
Ia menjelaskan, untuk membersihkan keris, tergantung tingkat korosinya atau karat.
Bila hanya kotor dan korosi sedikit, maka cukup dibersihkan dengan kain lap, kuas dengan dicampur minyak.
Namun bila korosinya parah, harus direndam dulu ke dalam air kelapa.
Kemudian setelah karatnya rontok, dibilas dengan jeruk nipis, kemudian dicuci dengan air dan diminyaki.
Baca juga: Bubur Suro, Sajian Wajib Saat Tahun Baru Islam di Tanah Jawa
Menurut Dekan, selain mudah didapatkan di toko-toko yang menjual minyak, membersihkan keris bisa memanfaatkan minyak klentik.
"Justru minyak alami itu sangat bagus karena awet dan tidak merusak bilah. Jadi jangan salah persepsi, memberi minyak itu bukan berarti memberi sesaji. Makna yang terkandung jelas supaya selalu bersih, sehingga awet," ungkapnya.
Bila awet, seni dan keindahanya terjaga dan bisa diwariskan ke anak cucu sehingga tidak punah.
Dekan tak memungkiri ada masyarakat yang percaya keris memiliki tuah atau kesaktian.
"Intinya semua kekuatan itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa," tegasnya.
Baca juga: PPKM Level 4, Tidak Ada Tradisi Malam 1 Suro di Gunung Tidar Magelang
Dekan menegaskan rakyat Indonesia harus bangga karena memiliki warisan keris buatan para empu.
"Karena selain wayang dan batik, senjata asli Nusantara ini sudah diakui secara resmi oleh Unesco, lembaga PBB yang mengurusi budaya. Di mana keris masuk dalam peninggalan warisan dunia," paparnya.
Menurut Dekan memiliki keris mulai dari zaman Kerajaan Singasari hingga Mataram itu, dalam sebilah keris, banyak nilai-nilai budaya, seni dan filosofis yang bisa dipetik.
"Karena keris tidak hanya sekadar senjata tajam saja, di dalam keris ada nilai filosofis, budaya, religi dan sebagainya," ungkapnya.
Lebih lanjut, teknik empu dalam membuat keris meski sederhana namun sudah luar biasa.
"Karena sudah bisa meleburkan baja, besi, dan titanium yang memiliki titik lebur yang berbeda-beda ke dalam keris. Inilah kelebihannya yang tidak dimiliki oleh bangsa lain pada masanya,” jelas alumni jurusan Sejarah UNS Solo ini.
Baca juga: Remaja di Bali Tewas Tertusuk Keris saat Menari Rangda dalam Ritual Napak Pertiwi
Setiap bilah keris, baik itu yang lurus atau yang lekuk memiliki nama (dhapur) yang berbeda.
"Setiap nama itu mengandung arti filosofis dan makna yang berbeda pula. Demikian pula pamor (corak) putih di bilah keris juga memiliki nama yang berbeda pula sesuai dengan gambar atau bentuknya," jelas Dekan.
Semisal saja, ada pamor yang bentuknya mirip kulit semangka, maka disebut pamor kulit semongko, ada juga mirip daun blarak (daun kelapa) maka disebut pamor blarak dan sebagainya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.