Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulau Rote, Merana di Beranda Selatan

Kompas.com - 02/02/2013, 03:39 WIB

Infrastruktur jalan ke sejumlah desa di pulau itu masih berupa jalan tanah. Sebagai pulau terselatan, Rote selalu terisolasi saat cuaca laut buruk.

Ancaman kekurangan stok bahan kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) pun terus mendera warga. Mereka butuh kapal motor yang layak berlayar saat cuaca buruk.

Harga bahan kebutuhan pokok dan BBM saat cuaca buruk melonjak tinggi sehingga sulit dijangkau masyarakat kecil. Pilihan mereka adalah kembali menggunakan kayu bakar, berjalan kaki ke berbagai tempat, dan mengonsumsi makanan apa adanya.

Saat gelombang laut tinggi (Desember-Maret), warga setempat berladang. Jika air laut tenang (April-November), mereka melaut dan menyadap lontar.

Sebagai nelayan tradisional, mereka tidak paham secara akurat wilayah batas perairan yang harus mereka jelajahi. Terkadang mereka sudah kelewatan memasuki perairan Australia sehingga harus berurusan dengan masalah pelanggaran teritorial negara Kanguru tersebut.

Perhatian pemerintah terhadap batas negara berupa perairan dengan pulau sekitarnya sangat terbatas, dibandingkan batas daratan. Alokasi dana untuk pembangunan perbatasan daratan sampai triliunan rupiah tidak pernah mencakup batas wilayah negara dan perairan pulau-pulau sekitarnya.

Budayawan Rote, Abia Mandala (69), mengatakan, tradisi melaut diramaikan oleh kehadiran nelayan asal Bugis, Makassar, Sulawesi Selatan, yang datang ratusan tahun silam. Mereka menetap di Pulau Rote dan pulau kecil di sekitar, termasuk Pulau Pasir, atau Australia menyebutnya Ashmore, sekitar 150 km dari Rote.

Ia menyebutkan, Rote dalam jargon sehari-hari lazim disebut ”putar balik”, atau dalam istilah Rote disebut Keke dipada. Bahasa sehari-hari masyarakat setempat sarat dengan ungkapan kiasan.

”Jika seseorang ingin membunuh lawan atau musuh, disebutkan saya mau lepaskan hewan. Jika ada satu suku ingin menyerang suku lain, diungkapkan ingin mengunjungi saudara tertua. Atau pergi mencuri disampaikan memberi sesuatu kepada orang lain. Ungkapan ini umum berlaku di kalangan masyarakat Rote,” kata Mandala.

Peperangan di antara nusak, dan kehadiran Belanda tahun 1800-an di pulau itu, membuat kehidupan politik praktis Rote semakin tak menentu. Setelah sukses mengadu domba para raja, Belanda membawa mereka ke daratan Timor dan menetap di Kupang.

Mereka membantu Belanda mengusir Portugis dan melawan raja-raja Timor. Elite politik Rote yang sudah dikuasai Belanda diberi tanah oleh Belanda di Kupang. Kini, sekitar 50 persen etnis Rote mendiami Kota Kupang dan sekitarnya.

Kupang (perlahan) berkembang sebagai ibu kota Provinsi NTT, tetapi Pulau Rote masih tetap merana....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com