Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara Fragmentasi dan Jebakan Korupsi

Kompas.com - 13/12/2012, 12:53 WIB
Mohamad Burhanudin

Penulis

Sejak masa damai, sebenarnya ada mekanisme rekonsiliasi ini melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dana santunan dan diyat diberikan kepada mantan kombatan dan masyarakat korban konflik. Namun, buruknya pendataan dan mekanisme penyaluran membuat banyak dana yang tersalur tak tepat sasaran.

Model penyelesaian secara material tersebut pun tak sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Banyak keluarga korban konflik yang sampai saat ini belum mendapatkan rasa keadilan karena penyiksaan atau anggota keluarganya yang hilang. Mereka tak pernah melupakan itu. Sementara, penegakan hukum yang adil tak pernah ada, kata Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Destika Gilang Lestari.

Akibat ketiadaan rekonsiliasi tersebut, stabilitas sosial politik Aceh sangat rentan goncang saat momen politik memanas. Kelompok-kelompok tertentu mudah sekali memanfaatkan suasana psikologis masyarakat post-conflict yang belum usai itu untuk memobilisasi masyarakat dan menciptakan kegaduhan.

Kekerasan dan konflik politik yang memanas pada saat menjelang Pilkada 2012 lalu adalah salah satu bentuk kerawanan tersebut. Kelompok-kelompok politik tertentu memanfaatkan situasi untuk mengerahkan massa, melakukan penembakan, dan intimidasi, guna m emuluskan kepentingannya.

Sayangnya, pada saat yang sama, penegakan hukum atas rangkaian kekerasan tersebut tak pernah benar-benar tuntas. Kekerasan tetap menjadi hantu gelap yang tak terungkap. Ancaman kemunculan kekerasan di kemudian hari pun tak terhindarkan saat momen politik menuntunnya.

Di politik lokal, terciptanya kelembagaan demokrasi formal, seperti partai politik lokal baru, belum mengarah kepada konsolidasi demokrasi. Yang terjadi justru terciptanya fragmentasi-fragmentasi politik di antara kekuatan-kekuatan politik tersebut karena kepentingan politi k jangka pendek, ekonomi, dan proyek anggaran pemerintah. Sayangnya, perbedaan politik itu tak hadir bersamaan dengan pemahaman toleransi atas perbedaan.

Kondisi tersebut tampak sepanjang Pilkada 2012 lalu. Serangkain intimidasi dan kekerasan politi k terjadi terhadap partai politik atau calon tertentu. Partai Aceh (didirikan oleh para mantan kombatan GAM), sebagai partai lokal terbesar, belum menampilkan dirinya secara elegan sebagai partai yang demokratis. Sejumlah kekerasan politik di lapangan ter indikasi melibatkan partai politik tersebut. Sayangnya, lagi-lagi tak ada tindak lanjut secara hukum secara transparan dan jelas dari penegak hukum.

Kekuatan eksGAM sendiri pun pecah antara kubu Partai Aceh dengan para mantan GAM yang sekarang ikut ke kubu mantan Gubern ur Aceh, Irwandi Yusuf. Belum lagi adanya indikasi perpecahan di dalam tubuh Partai Aceh dan Komite Peralihan Aceh (organisasi wadah para mantan GAM). Perpecahan ini dikhawatirkan kian menganga seiring pertarungan klik internal dalam memperebutkan sumber-sumber politik dan ekonomi dalam kekuasaan yang mereka genggam.

Jika terus berlanjut, dikhawatirkan kedepan Aceh akan terjebak dalam konflik horisontal. Bahkan, apabila ada kekuatan politik yang mampu memobilisasi kekecewaan pada masa damai ini, konflik vertikal seperti pada masa lalu dikhawatirkan akan tersulut kembali. Sayangnya, upaya rekonsiliasi antar kekuatan politik lokal ini tak juga dilakukan oleh Pemerintahan A ceh yang baru, setidaknya hingga enam bulan pertama kekuasaannya.

Perpecahan kultural pun mengancam. Dalam beberapa waktu terakhir, tuntutan pemekaran masyarakat Gayo di Aceh bagian tengah dan masyarakat di bagian barat dan selatan kembali mengemuka. KOndis i ini dipicu oleh rencana penerapan Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang dianggap oleh kelompok-kelompok etnis minoritas di Aceh sebagai diskriminatif. Jika tak dapat dikelola dengan baik, konflik kultural ini akan menjadi pemicu ja tuhnya Aceh ke dalam lubang konflik baru.

Korupsi yang merajalela

Peneliti Aceh, Olle Tornquist pernah menyatakan, dengan adanya MoU Helsinki, Aceh memiliki kesempatan mengembangkan demokrasi. Namun, setelah damai, kenyataannya demokrasi di Aceh berdialektika negatif dengan tujuan demokrasi. Yang terjadi adalah liberalisasi politik seperti halnya dalam politik nasional, yang ditandai dengan maraknya korupsi dan oligarki politik.

Korupsi menjadi beban persoalan Aceh yang justru menggema pada masa damai in i. Sebuah lembaga antikorupsi nasional bahkan menempatkan Aceh sebagai provinsi terkorup kedua di Indonesia setelah Jakarta. Pada tahun 2012 saja, nilai kerugian negara akibat korupsi di Aceh mencapai Rp 275,4 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 80.

Jumlah tersebut kemungkinan besar dapat lebih dari itu karena banyak kasus belum dihitung kerugian negaranya dan belum semua kasus korupsi ditangani penegak hukum, kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian.

Besarnya anggaran yang dikelola Pemerintah Aceh belum diikuti dengan kebijakan dan pengelolaan yang efektif dan efisien. Hal ini terlihat dari sejumlah indikator hasil pembangunan yang masih buruk, seperti angka kemiskinan yang tinggi, indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah, dan kualitas pendidikan yang stagnan.

Alfian mengatakan, Aceh telah membelanjakan sektiar Rp 19 triliun pada tahun 2011, dan diprediksikan sektiar Rp 20 triliun dibelanjakan pada akhir tahun 2012. Sebagian anggaran belanja tersebut ditunjang dengan dana otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh sejak tahun 2008. Secara keseluruhan, sejak tahun 2008 hingga tahun 2012 Aceh membelanjakan sekitar Rp 91 trilun. Nilai anggaran tersebut lebih besar dari semua provinsi di Sumatera dan menempatkan Aceh sebagai provinsi terkaya ke-7 di Indonesia.

Namun, anggaran yang besar tersebut belum berimbas kepada perbaikan secara signifikan kepada kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kajian Public Expenditure Analysis & C apacity Strengthening Program (PECAPP), yang didukung oleh Bank Dunia dan AusAid, Aceh saat ini menjadi daerah termiskin ke-7 di Indonesia, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 20.98 persen (jumlah penduduk Aceh sekitar 4,3 juta jiwa). Angka tersebut di atas rata-rata nasional yang sebesar 13,3 persen.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com