Hal ini mengemuka dalam seminar ilmiah nasional Keanekaragaman Fenotip dan Genotip Thalassemia Alfa di Indonesia, Rabu (31/10), di Jakarta.
Salah satu pembicara, dokter spesialis anak dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Hematologi Onkologi FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo, Pustika Amalia Wahidiyat, mengatakan, talasemia adalah kelainan darah, rantai globin tidak terbentuk sempurna atau hilang akibat kelainan genetik.
Ada dua jenis talasemia, yakni alfa dan beta, berdasarkan kelainan pada dua komponen penyusun hemoglobin yang mengalami mutasi.
Pada talasemia alfa, rantai globin alfa yang merupakan komponen penting dari molekul hemoglobin janin (HbF) tidak sempurna atau hilang. Karena itu, talasemia alfa bisa terjadi pada masa janin atau setelah lahir. Kondisi talasemia bisa ringan, sedang, dan berat.
Pustika mengatakan, gambaran klinis talasemia alfa bervariasi mulai dari normal (silent carrier), anemia ringan, tampak kuning, gangguan tulang, hingga kematian dalam kandungan.
Dokter spesialis anak sekaligus peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Iswari Setianingsih, mengatakan, pada talasemia alfa berat, janin umumnya tidak dapat bertahan hidup sehingga ibu keguguran. ”Berbeda dengan talasemia beta berat, bayi dapat lahir hidup.
Jadi, terkesan talasemia beta lebih banyak kasus,” ujarnya. Pada talasemia alfa ringan, bayi masih mampu bertahan hidup.
Pembicara lain, dokter spesialis kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Aria Wibawa, menyatakan, janin dengan talasemia memengaruhi kesehatan ibu, seperti terjadi hipertensi pada kehamilan, preeklamsia berat, dan pendarahan obstetri.