Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sang Petruk

Kompas.com - 30/09/2012, 04:34 WIB

Baru setelah di alun-alun malam itu diadakan perayaan Tujuh Belasan, dia sedikit mengerti. Di tengah alun-alun dibangun sebuah panggung besar. Kali itu sekitar panggung sudah dipenuhi para pemuda berseragam hitam, bersyal merah, dan para gadis belia berpakaian kebaya kain lurik dan berkain batik sebatas lutut. Dimulai dengan lagu Nasakom Bersatu yang dikumandangkan penuh semangat oleh sekitar dua puluh pemuda termasuk adiknya, tampil di panggung. Disusul dengan pidato Martono berapi api. Martini tidak begitu mengerti maknanya, yang tertangkap di telinganya adalah kata-kata: ”Perjuangan kita adalah perjuangan bersama rakyat untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai!” Disambut tepuk tangan pengunjung diseling teriakan Hidup PKI gegap gempita. Tepuk tangan semakin meriah, ketika rombongan gadis belia, tampil di panggung, berlenggang-lenggok menarikan Tari Genjer-genjer.

Menjelang pertunjukan usai, tiba-tiba, di sekeliling alun-alun dipenuhi ratusan pemuda yang gaduh sambil meneriakkan kata-kata: ”Marhen menang yes eyeees...... Marhen menang yes eyeees!” Serta merta para pemuda di dalam alun-alun berhamburan keluar. Keributan dahsyat tak terelakkan. Kemudian nampak polisi berdatangan. Terdengar tembakan pistol ke atas. Melihat gelagat tidak menyenangkan ini, Martini lari tunggang langgang, pulang.

Dini hari adiknya baru pulang dengan wajah penuh darah yang keluar dari luka di pelipisnya. Martini semakin cemas akan keadaan adiknya. Nampaknya yang dilakukan bukanlah perjuangan melainkan sebuah perlawanan. Semakin hari nampaknya kesibukan adiknya semakin banyak, dan wajahnya selalu penuh ketegangan. Beberapa kali tidak pulang berhari-hari.

Pada suatu malam, Martini terkesiap melihat adiknya pulang bersama Farida!

 

Hari-hari menjelang akhir tahun 1965, sebuah helikopter menderu-deru di angkasa, sambil menebarkan kertas selebaran. Semua warga berebutan mendapatkannya. Yang masih tersisa di ingatannya, adalah gambar Garuda Pancasila, di bagian teratas kertas selebaran. Isi kata-kata dalam selebaran tidak begitu dipahaminya, hanya kalimat ”harus waspada menghadapi pengkhianat bangsa” dan ”atas nama Panglima Tertinggi ABRI” serta ”tertanda Mayor Jenderal Soeharto”. Selebaran ini terjadi berulang kali, dan konon hanya disebar di kota ini.

Sementara itu, memang beberapa hari sebelumnya terlihat keganjilan di desanya. Semua warga nampak gugup campur ketakutan. Martono juga jarang pulang. Sekilas Martini mendengar berita dari tetangganya, bahwa ada banyak jenderal yang dibunuh. Banyak warga desanya yang siap di pos jaga dengan menyandang bambu runcing yang masih banyak bercak-bercak darah.

Menjelang tengah malam Paklik Marno, paman Martini, menganjurkan supaya Martini pergi dari desa ini secepatnya, karena Martono.

”Kenapa dengan Martono,” tanya Martini kebingungan.

”Tentara bersama warga sedang mengadakan perburuan mereka yang menjadi anggota PKI.”

”Lalu dengan Martono?”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com