Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sang Petruk

Kompas.com - 30/09/2012, 04:34 WIB

”Seorang aparat dari Kodim, sersan Wardoyo, bersama seorang jagabaya desa ini sebagai penunjuk jalan, telah menyisir seluruh desa untuk mencari Martono. Kamu tahu kan, istrinya selingkuh dengan adikmu? Dia pasti kemari, sudah 15 orang warga sini dibantai dengan tudingan orang PKI, hanya karena tidak tahu di mana adikmu berada...Sudahlah, cepat pergi!”

Paklik Marno segera bergegas lari, seperti ketakutan. Semula Martini bingung kenapa pamannya yang pensiunan tentara, juga lari. Tanpa pikir panjang dia kemasi beberapa helai baju, dan kemudian berlari menuju kota, ke kediaman Koh Ong, majikannya tempat Martini bekerja sebagai pembantu. Dan ternyata seisi rumah di kediaman majikannya, sudah berantakan. Istrinya menangis sambil menuturkan bahwa Koh Ong diciduk aparat. Martini sadar memang selama ini, majikannya adalah salah seorang guru di sekolah yang didirikan oleh organisasi Baperki.

Tiba-tiba rumah majikannya digedor-gedor. Dua orang merangsek ke dalam, seorang tentara, Sersan Wardoyo dan Pak Toyib, sang jagabaya desa. ”Itu mbakyunya!” teriak sang jagabaya sambil menuding Martini. ”Tidak mungkin dia tidak tahu di mana Martono! Tangkap dia dulu, pasti nanti adiknya akan menyerah!”

Dalam perjalanan menuju rumah tahanan, sang jagabaya mendekati Martini, sambil membisikkan, tentang kemungkinan akan dilepas apabila mau dinikahinya. Martini tak acuh. Yang memenuhi pikirannya hanyalah bagaimana nasib adiknya. Tapi di rumah tahanan, yang lebih merupakan rumah penyiksaan ini, ketegarannya menghadapi penderitaan runtuh. Ketika ujung kawat listrik menyentuh organ vitalnya, dan merasa ajal akan menyambutnya, sang jagabaya datang, berkacak pinggang dengan senyum menyeringai penuh arti. Dan Martini mengangguk lemah. ”Betul kan?” ujar sang jagabaya, sambil memapah Martini keluar dari ruang tahanan.

”Dengan tudingan jari telunjuk ini aku bisa bikin orang mati dan hidup kembali. Seperti kamu!”

Tak lama kemudian, terdengar Paklik Marno, pensiunan anggota Batalyon Angkatan Darat yang disinyalir pendukung PKI, ditudingnya juga. Dan akhirnya meninggal oleh siksaan di penjara Beteng Pendem, Ambarawa.

 

Serasa sejuta tusukan jarum tiba-tiba menyerang buku jarinya, teriakan Pak Toyib pun menggetarkan seluruh ruangan.

”Istighfar, Pak, istighfar!” teriak Martini yang muncul begitu saja, karena tak tahan melihat penderitaan suaminya. Sebetulnya tak hendak dia mengucapkan kata itu, karena selama ini pasti akan disambut kemarahan oleh suaminya. Pak Toyib menatap tajam, matanya berkilat penuh kemarahan.

”Jangan menggurui saya!” ucapnya keras,” Kamu kira saya tak tahu, kamu mau mengatakan ini adalah kutukan Tuhan!”

Martini menyadari, rupanya suaminya masih dikuasai keangkuhan lahir akan apa yang telah dilakukan di masa lalu. Dengan bangga pernah diucapkan kepada Martini, bahwa apa yang dilakukan demi memberantas penganut ajaran anti Tuhan. 

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com